Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Lima Tahun Menulis di Kompasiana, Saatnya Membuat Pengakuan Dosa

28 Maret 2019   08:16 Diperbarui: 28 Maret 2019   08:34 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: annirvingadvertising.com

#Apologia

Kita mengenal 26 alfabet Romawi dan saya harus mempertimbangkan 26 karakter apa yang akan digunakan untuk memulai tulisan ini. Seperti kebanyakan orang yang menginginkan penghindaran elegan dari potensi konflik, adalah dengan memulainya dari huruf A: (A)pologia. Untuk sementara itu akan terlihat adil.

Apakah kemudian huruf Z adalah kutukan seperti kita menyebut (Z)ombie atau orang yang saban waktu mengantre di barisan terbelakang? Kutukan hanya mitos ketika ia bisa dihindari oleh kehendak bebas. Nama yang kita sandang adalah bukti bahwa kita telah diikat oleh gagasan masa silam.

Adalah kehendak bebas dari mereka yang hidup sebelum kita tapi menulisnya -untuk tidak sepenuhnya bebas- dengan huruf yang ditentukan oleh orang kuno dari Semenanjung Italia. Mengapa kita menggunakan aksara Latin atau Romawi selama lebih dari 2.000 tahun terakhir? Karena ia memiliki daya ikat yang melebihi alfabet apapun yang pernah ada.

Padahal bangsa Romawi bukanlah penemu huruf paling awal, mereka meminjam dari Aksara Etruska untuk memulai huruf Latin Kuno. Etruska mengadopsi alfabet Yunani dan mencontoh abjad Fenisia yang didahului oleh Proto Sinaitik dan berhulu kepada Hieroglif Mesir. Lalu mengapa bukan Hieroglif Mesir? Apakah Augustus lebih hebat dari Fir'aun?

Di sini spirit glorifikasi memainkan perannya. Sejarah ditulis oleh pemenang, bahkan menyediakan huruf-hurufnya. Bahkan bila Anda butuh informasi waktu kapan sejarah itu pernah ditulis, mereka sudah membuat sistem penanggalan Kalender Gregorian (1582 M), yang dipatuhi masyarakat dunia sampai hari ini. Dengan seperti menutupi, bahwa angka (numeric) pada sistem penanggalan itu sebenarnya dijemput dari bangsa Arab.

Apologia, berarti saya mengatup kedua telapak tangan, memohon maaf atau semacam pengakuan dosa. Tulisan - tulisan saya di Kompasiana selama ini mengandung paradoks. Bahkan satu gagasan kontradiktif dengan gagasan lain. Suatu hari saya menolak neoliberalisme, dan di lain waktu memberinya peluang. Pada Jumat sore dua tahun sebelumnya saya mencerca ateisme, Senin pagi tahun kemarin saya memberikan ruang kepada agnostik mempertanyakan eksistensi Tuhan. Mengecam xenophobia Donald Trump di satu sisi kemudian membelanya di sisi yang lain.

Meski berpegang teguh kepada teori Sudden Creation penciptaan manusia oleh Super Kosmos, Allah Tuhan Yang Maha Esa, namun saya juga tergoda kepada cikal bakal Sapiens yang ekuivalen dengan sabda evolusi Charles Darwin.

Bahkan atas semangat holistik dan keadilan sejarah saya memasuki literatur Yahudi sampai Zionisme atau doktrin Karl Marx -tiga seri Das Kapital misalnya- untuk melihat cara mereka berpikir. Saya mengangguk kepada Adam Smith, lalu berhenti sampai penganutnya menyisakan bercak darah di panggung sejarah.

Genosida di tanah koloni, perbudakan Afrika dan pengisapan terhadap negara Asia dan Sub Sahara adalah sisi gelap kapitalisme yang setidaknya digurui tanpa sengaja oleh Smith. Demikian pula diktatorial komunisme Marx yang gagal di mana-mana dan proses ke mimpi utopia kaum proletar yang mendentangkan lonceng kematian pada jutaan manusia. 

Lalu kemunculan John Maynard Keynes pada awal abad 20 yang menandai berakhirnya ekonomi laissez-faire (semacam perlawanan terhadap intervensi pemerintah melalui Ekonomi Pasar Bebas pada abad 18) tidak akan sepenuhnya saya bela, demi menjemput fenomena futuristik yang tak terduga-duga. Apalagi Keynesian adalah penyebab revolusi moneter dan gelembung ekonomi yang sewaktu-waktu akan meledak.

Saya ingin membentuk tulisan saya dalam bahasa filsafat atau setengahnya. Dengan misalnya mempelajari sejarah filsafat ketika mulai jatuh cinta dengan para pria Agora perenung: trio Socrates, Plato, dan Aristoteles. Saya juga menaburkan tempias-tempias pikiran para filosof dunia sepanjang 2.500 tahun di sekujur tubuh tulisan - tulisan saya. Kita akan tahu bagaimana aliran filsafat mengalir, menjadi sempurna atau gagal.

Kilasan - kilasan penting antara filsafat Barat, Timur, dan Islam dihubungkan oleh benang merah dalam lintasan kosmos yang pendek -memandang umur bumi sudah 4,6 miliar tahun-  siapa yang menjadi pemenang di titik nol kilometer sejarah, siapa meringkuk di abad pertengahan, lalu siapa yang menjadi pangeran di panggung pertunjukan renaisans junto revolusi industri.

Fenomena umum dari kumpulan tulisan adalah seperti ruang dan waktu yang dipadatkan oleh Horizon Peristiwa (Event Horizon), sedangkan tulisan ini berjarak sekitar lima tahun dari tulisan awal. Saya terlihat serius menulis sejarah dunia paling epik, namun tiba-tiba menunggangi kapsul waktu untuk mendarat di masa depan. 

Maka ide-ide yang saya tulis tidak akan konsisten pada satu dua tema, sementara ritma dan proses intelektual sepanjang pengembaraan literasi memengaruhi tingkat kedewasaan, bias optik dan pilihan diksi yang saya biarkan apa adanya.

Para filosof mendesaki lorong sunyi penggalian pikiran untuk menemukan apa yang terbaik, yang paling indah, dan yang paling benar, ketika banyak orang menari di lantai estetik-hedonistik duniawi dan upaya-upaya parsial sebagai bekal akhir zaman. Ketika mereka butuh utilitas yang sealiran dengan filsafat, filsafat menyambutnya dengan wajah ketat.

Untuk itu bersama tulisan - tulisan ini, saya ingin menitipkan kegelisahan holistis filsafat dengan ramah. Secara lucu sebagai bangsa yang muda dalam bernegara, kita tidak tampak tergesa-gesa di antara satu gunung Everest pekerjaan rumah. Dalam begitu banyak masa dan energi dihabiskan untuk mengulang ritus demokrasi superfisial untuk terlihat bahwa kita sedang bernegara, kita harus segera memendekkan jarak antara kita dengan Utopia: sebuah negara khayali yang didambakan semua orang. 

Jangan sampai kita kehabisan waktu ketika makin dekat dengan tatanan negara ideal, justru konsep negara sudah tidak dikenal di muka bumi. Negara yang dibentuk  atas kegelisahan eksistensial adalah produk mitos. Dan kita perlu bertaruh, apakah masyarakat global ultra-modernisme kelak masih butuh sekat - sekat mitos yang acap menginterupsi keterhubungan mereka.

Era pemujaan kehendak bebas sebagai penanda post-modernisme diprediksi akan tamat. Manusia masa depan akan terhubung secara digital dalam keteraturan penuh. Kehendak bebas menghasilkan human error tapi big data tidak. Bila kualitas-kualitas manusia di bumi tidak segera membaik, maka upaya menuju Utopia akan diambil alih oleh robot-robot pelaku revolusi digital. ~MNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun