Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alexander di Tanah Melayu

26 November 2018   09:28 Diperbarui: 12 Desember 2018   23:16 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alexander The Great. Sumber foto: getyourimage.club.com

 

Iskandar Zulkarnain atau mungkin Alexander Agung (356 SM -323 SM) dari Macedonia, yang dimitologikan sebagai leluhur raja-raja di tanah Melayu dan Minangkabau mestinya menjadi seorang filsuf. Sebagian masa kecilnya dihabiskan untuk berguru kepada Aristoteles, tapi gagasan-gagasan filsafat yang ia dapat tak menghentikan hasratnya sebagai raja penakluk seluruh jazirah.

Raja Macedonia atau Muqaduniah dalam kronik Melayu ingin memperluas kekuasaannya hingga ke negeri matahari terbit. Jejak-jejak taklukannya terlihat di sebentang jazirah Eropa, Asia dan Afrika, yang berpusat di Alexandria atau Iskandariah, Mesir.

Zulkarnain menjadi kontradiksi sepanjang peradaban, di antara teks-teks dalam Islam dan sosok Alexander The Great yang dibicarakan di Barat, terutama soal agama yang dianut Zulkarnain. Tapi dunia seolah tidak peduli, melihat asal usul dan jejak penaklukannya mengarahkan keduanya sebagai orang yang sama.

Sebagai pembeda, saya mengutip Ibnu Katsir yang menyebut bahwa Zul Qarnain atau Zulkarnain hidup di masa Nabi Ibrahim, 2.000 tahun sebelum masa Alexander Agung orang Macedonia, Yunani. Ibnu Katsir juga menuliskan dalam Kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah, bahwa Nabi Khidr adalah menterinya dan mengunjungi Mekah dengan berjalan kaki. Ketika Ibrahim mengetahui kedatangannya, maka ia keluar dari Mekah untuk menyambutnya.

Selebihnya Zulkarnain mirip Iskandar atau Alexander yang mendirikan Iskandariah, atau Alexandria di Mesir. Alexandria kala itu menjadi pusat peradaban dunia, sebagai kota termegah setelah Roma. Penggabungan keduanya menjadi Iskandar Zulkarnain, seolah semacam sintesis agar upaya glorifikasi tidak menajamkan kontradiksi itu.

Namun pengaruh penaklukan Alexander membuat kehidupan filsafat redup selama 300 tahun, dan urusan bernegara digantikan oleh politik, yang menjadi awal mula kekacauan di sana sini. Kehidupan sebagian masyarakat dunia di bawah taklukan Alexander (untuk tidak menyebut Zulkarnain) memunculkan zaman Helenisme, yakni sebuah paham hegemonik ketika orang di dunia berbicara, berkelakuan dan hidup seperti Yunani.

Trauma dunia atas sejarah penaklukan menyebabkan melambatnya sejarah pemikiran. Filsafat terpencilkan di menara gading dan di sudut-sudut pertapaan segelintir orang. Ketika itu muncul paham Neoplatonisme dan Stoikisme, namun tak memberi perubahan. Stoikisme dengan dalil bahwa takdir telah diatur, mendorong sikap fatalistik di tengah masyarakat.

Rakyat yang terhegemoni maupun pemimpin -akibat kekosongan filsafat dan agama- berbicara dan bertindak dalam konteks otak Reptil. Sebagai otak tertua manusia yang bereaksi terhadap konflik dengan cara agresif atau melarikan diri. Sejarah penaklukan menggunakan cara pertama, dalam geopolitik teritorial ia menjadi sempurna dengan salah satu landasan dasar reptil yakni mementingkan diri sendiri terutama tubuh (somatic or survival) bagi kekuasaan.

Kita langsung melompat ke abad pertengahan -melampaui masa 1.000 tahun- disebut juga abad kegelapan di Eropa. Abad ini adalah pengantara zaman Helenisme dan Renaisans. Kehidupan di Eropa kala itu berjalan datar, kecuali di Andalusia (Spanyol) ketika ia menjadi pusat pikiran dunia dari Ibnu Rusyd atau Averros (1126 -1198) yang didahului oleh ilmuan dan filsuf Muslim seperti Al Farabi (870-950) dari Turki, kemudian dari Persia seperti Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037), dan Al Ghazali  atau Algazel (1058-1111).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun