Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gagasan Raksasa dari Lembah Silikon

24 November 2017   20:09 Diperbarui: 24 November 2017   22:06 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: news.theregistrysf.com

Silicon Valley atau Lembah Silikon mengalami penggelembungan makna. Bukan semata sebuah sebuah teknopark di Cailfornia Utara, Silicon Valley adalah sebuah ide besar. Ia tempat menghimpun gagasan raksasa tentang masa depan cemerlang yang mampu menyulap peradaban.

Technopoles Dunia Manuel Castells menyebut, Silicon Valley adalah tempat sebuah ide besar bisa muncul dari garasi, dan menyebabkan anak - anak muda belasan tahun menjadi jutawan.

Silicon Valley dimulai dari seorang dosen Stanford, Frederick Terman yang menginspirasi mahasiswanya dengan kemajuan teknologi masa depan, terutama yang berdasarkan silicon (silicon based integrated circuit). Dia juga menekankan keuntungan yang diperoleh dari menekuni bidang ini. Maka lahirlah darinya William Hawlett dan David Packard. Dengan merek Hawlett Packard (HP) yang menjadi perusahaan komputer terbesar di Amerika dan dunia, keduanya kemudian menyuntikkan virus sukses itu kepada anak muda macam Steve Jobs da Steve Wozniak, empunya Apple, Inc.

Untuk menyingkat, di Stanford kemudian dibangun Stanford Industrial Park dan Silicon Valley menjadi pusat industri IT raksasa yang menjadi ibukota bagi Intel, Apple, Yahoo, Cisco, Google dengan Googleplex-nya, dan seterusnya. Tidak berhenti di situ, ia juga menjadi pusat inspirasi digital yang dipancarkan dari The Tech Museum of Innovation, Intel Museum, NASA, Ames Research Center dan Computer History Museum.

Silicon Valley adalah puncak peradaban kekinian, mau tidak mau ia akan terus menjadi episentrum bagi segala ekspekstasi dan imajinasi yang dapat diciptakan oleh manusia di masa depan. Gagasan dan spirit Silicon Valley bisa ditebar ke segala sudut dunia, dengan satu titik tolak bahwa teknologi adalah wahana penciptaan kemakmuran terhebat sepanjang sejarah umat manusia.

Ia dimulai sejak manusia menemukan api pada 450 ribu tahun sebelum masehi, dilanjutkan dengan terciptanya kertas, perahu untuk tujuan ekspedisi, rangkaian alat seperti mesin cetak, mesin uap, senjata api hingga teknologi antariksa yang memungkin manusia mencapai bulan. Pada abad 21, manusia bahkan sudah akan mampu mencipta energi yang sama dahsyatnya dengan energi yang membakar matahari selama miliaran tahun: Fusi Nuklir.

Bahkan manusia sudah mulai dikombinasikan dengan mesin, dengan mengawinkan otak dengan super komputer berukuran nano. Lalu kemudian manusia memasuki era baru yang memiliki kecepatan dan kecerdasan fisik yang melampaui manusia normal. Dalam film fiksi ilmiah, mereka pernah disebut sebagai Cyborg.

Fenomena ini tak bisa dicegah dan akan merangkum kita sebagai bangsa Indonesia tentunya. Bagaimana kemudian kita dan anak cucu nantinya bisa hidup dalam segala imaji yang kemudian menjadi nyata, mungkin postulat Charles Darwin tentang Seleksi Alam di sini akan bekerja.

Tentang langkah yang bisa dilakukan untuk dapat mengikuti rentak irama kekinian yang terus progresif, Eko Laksono dalam bukunya Metropolis Universal merinci sejumlah gagasan. 

Pertama, kembangkan dan kuatkan inspirasi anak -- anak muda pada teknologi, bangun kampus - kampus berteknologi tinggi yang akan melahirkan technoprenuer, sambungan internet yang berkualitas dunia, membangun kawasan atau kluster khusus untuk teknologi yang kemudian menjadi embrio Silicon Valley ala Indonesia, mensinergikan antara visi teknologi dan bisnis berskala raksasa, menciptakan kondisi kota yang berperadaban digital, berikan insentif tinggi bagi inovasi, berikan ruang yang luas kepada tunas - tunas muda yang berpikir berani terhadap tantangan milenial  dan terakhir, ciptakan global mind.

Kita tentunya tidak ingin ini terjadi di masa depan: ketika otak manusia di wilayah utara sudah terhubung ke nanotech, sehingga mampu bergerak dan berpikir secepat cyborg dan di antara mereka sudah terhubung secara real time, orang - orang berdasi di negeri ini masih sibuk menyusun skedul kunjungan kerja atau studi banding secara fisik seperti abad pertengahan. 

Dan di ruang - ruang kelas kita masih ada yang mengajarkan cara menghitung dengan jari atau lidi, sementara anak - anak sebayanya di bagian dunia lain, sudah mulai menyusun algoritma digital dan menyelesaikan hitungan matematis dengan satu dua kali sentuhan pada layar gawai mereka. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun