Mohon tunggu...
mmksyid
mmksyid Mohon Tunggu... Lainnya - -

nulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menegaskan Hak: Indonesia dan Effective Control di Laut China Selatan

27 Mei 2024   05:09 Diperbarui: 27 Mei 2024   05:15 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apakah kita akan membiarkan kejadian Sipadan dan Ligitan terulang kembali di Laut China Selatan? Kasus sengketa wilayah yang dimenangkan oleh Malaysia tersebut memberikan pelajaran penting: tanpa kehadiran dan kontrol yang efektif (effective control), klaim kedaulatan negara terhadap suatu wilayah dapat dengan mudah dipertanyakan. Kini, di tengah konflik yang semakin memanas di Laut China Selatan, Indonesia harus memastikan bahwa kita tidak hanya hadir, tetapi juga mengelola dan mengamankan wilayah kita di Laut China Selatan khususnya di Perairan Natuna secara efektif, nyata, dan berkelanjutan. Bagaimana kita dapat menegaskan kedaulatan di perairan strategis ini?

Ancaman di Laut China Selatan & Doktrin  Effective Control

Langkah pertama untuk memperkuat kedaulatan di Laut China Selatan adalah memahami konsep dasar dari doktrin effective control. Doktrin ini menekankan perlunya suatu negara untuk memiliki kontrol yang efektif atas suatu wilayah untuk menegaskan kedaulatannya. Keputusan yang merugikan Indonesia dalam sengketa Sipadan dan Ligitan menjadi cerminan dari kekurangan dalam membangun kontrol yang efektif di wilayah maritim.

Mengapa effective control menjadi relevan di Laut China Selatan?

Saat ini konflik tengah berkembang di Laut China Selatan, terdapat sejumlah negara yang saling mengklaim wilayah di perairan tersebut. China telah menegaskan klaimnya atas sebagian besar wilayah tersebut melalui konsep Nine Dash Line. Klaim ini mencakup sebagian perairan Natuna, yang seharusnya menjadi bagian dari kedaulatan Indonesia. Klaim China ini telah memicu konflik dengan beberapa negara ASEAN, termasuk Vietnam dan Filipina, yang juga memiliki hak wilayah di Laut China Selatan. Hal semacam ini menimbulkan ketegangan, termasuk potensi eskalasi dengan Indonesia di wilayah Perairan Natuna.

Faktanya, China telah melakukan serangkaian langkah untuk memperkuat klaimnya di wilayah Nine Dash Line Laut China Selatan. Salah satunya adalah dengan melakukan pembangunan pulau buatan di kepulauan yang dipersengketakan, seperti Kepulauan Spratly dan Paracel. China juga telah mengerahkan jet tempur, kapal-kapal patroli, dan nelayan sipil serta membangun instalasi militer di pulau-pulau buatan tersebut. Semua ini bertujuan untuk menegaskan kehadiran dan kontrol mereka di Laut China Selatan.


Artinya mereka menggunakan kehadiran fisik dan aktivitas ekonomi untuk memperkuat dan menegaskan posisi mereka di wilayah yang dipersengketakan. Dengan demikian, China tidak hanya menunjukkan klaim mereka secara verbal, tetapi juga mengambil langkah nyata untuk mengendalikan wilayah tersebut. Ini merupakan tantangan serius bagi negara-negara lain yang juga memiliki klaim di Laut China Selatan. Jika situasi ini terus berlanjut, dikhawatirkan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, jika terjadi konflik yang besar (perang) di wilayah ini, China sudah memiliki kehadiran dan klaim yang kuat bahwa mereka secara efektif mengendalikan wilayah itu.

Effective Control Indonesia di Peraian Natuna

a. Economic Control

Natuna merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, termasuk minyak dan gas alam. Untuk menegaskan kontrol Indonesia pada perairan ini, diperlukan pengembangan aktifitas ekonomi yang masif baik itu di sektor perikanan maupun migas. Pengambangan ekonomi ini harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimiliki.  Hal ini untuk menegaskan kepada pihak lain bahwa Indonesia berdaulat secara ekonomi di Perairan Natuna.

Untuk sektor perikanan, pemerintah dapat mendorong partisipasi masyarakat sipil dengan memberikan insentif, termasuk jaminan keselamatan, bagi nelayan untuk mencari ikan di perairan Natuna. Kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat sipil dan militer dapat membentuk wilayah ekonomi khusus di perairan Natuna, yang akan memberikan dorongan bagi aktivitas perikanan yang berkelanjutan dan menguntungkan bagi masyarakat setempat.

Selain itu, dalam pengembangan sektor migas, Indonesia dapat menjalin kerja sama investasi dengan perusahaan asing, seperti perusahaan asal Rusia dan/atau Amerika Serikat, untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya migas di perairan Natuna. Kerja sama dengan perusahaan Rusia dan/atau Amerika dapat menjadi deteran bagi China untuk mengganggu kegiatan ekonomi di Natuna, serta memperkuat klaim Indonesia atas perairan tersebut.

Sebuah pemberitaan menarik dari Reuters pada tahun 2021 menyebutkan bahwa China meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran migas di perairan Natuna. ((https://www.reuters.com/world/asia-pacific/exclusive-china-protested-indonesian-drilling-military-exercises-2021-12-01/)

Laporan ini mencerminkan bahwa China tidak ingin Indonesia memiliki effective control atas kegiatan ekonomi di Perairan Natuna karena hal itu akan melemahkan klaim mereka. Di sisi lain, China melakukan pengawalan terhadap kapal nelayan sipil di perairan tersebut, menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi merupakan salah satu aspek yang penting dalam penegasan kedaulatan Indonesia di Natuna.

b. Military Control 

Untuk memperkuat kontrol militer di Perairan Natuna, Indonesia harus mengambil langkah-langkah konkret untuk meningkatkan kehadiran dan kekuatan militer di wilayah tersebut. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan membentuk zona pertahanan militer yang efektif dengan membangun Pangkalan Militer Terapung di Perairan Natuna.  Pangkalan militer terapung akan memberikan fleksibilitas dan mobilitas yang tinggi dalam mengawasi wilayah yang luas. Selain itu, dengan menggunakan teknologi canggih, pangkalan militer terapung dapat menjadi platform yang efektif untuk pemantauan dan deteksi dini terhadap intrusi kapal asing.

Dalam pangkalan tersebut, Indonesia dapat membentuk Pasukan Khusus Pengawasan Natuna didedikasikan untuk menjaga kedaulatan Indonesia di Perairan Laut China Selatan. Pasukan ini akan dilengkapi dengan pelatihan khusus dan peralatan canggih untuk melakukan patroli dan pengintaian di wilayah tersebut. Dengan kehadiran pasukan khusus ini, Indonesia dapat meningkatkan ketanggapannya terhadap ancaman potensial dan meningkatkan kontrol terhadap wilayah yang dipersengketakan. Pasukan ini dilengkapi dengan peralatan khusus untuk navigasi bawah air dan komunikasi, serta dapat melakukan tindakan yang cepat dan efektif untuk menghadapi ancaman potensial di lingkungan laut yang kompleks.

Pasukan ini dapat melakukan Operasi Pasukan Khusus Bawah Air, termasuk penyelaman untuk melakukan pengintaian dan pengawasan di sekitar perairan Natuna ataupun Operasi Pemusnahan Kapal yang melanggar wilayah Indonesia di Perairan Natuna. Operasi ini akan melibatkan penggunaan kapal-kapal perang dan pesawat tempur untuk menanggapi intrusi dengan tindakan tegas, seperti penyitaan atau penghancuran kapal-kapal yang melanggar hukum.

Selain membentuk Pasukan Khusus di Natuna, Indonesia harus memperbanyak kehadiran personel di garis depan Natuna, baik itu dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, maupun Angkatan Darat. Hal ini akan memperkuat deterensi terhadap potensi ancaman, serta memberikan rasa aman dan perlindungan bagi wilayah tersebut. Selanjutnya, diperlukan peningkatan frekuensi dan intensitas patroli militer di sekitar Natuna. Ini akan memungkinkan Indonesia untuk secara aktif mengawasi dan memantau aktivitas di perairan tersebut, serta memberikan respons cepat terhadap potensi ancaman atau intrusi.

Langkah-langkah ini perlu didukung dengan investasi dalam infrastruktur militer di Natuna, Indonesia harus mengakuisisi dan mengembangkan teknologi pertahanan yang canggih untuk meningkatkan kemampuan militer di Natuna. Ini termasuk sistem pertahanan udara, radar pengawasan, dan sistem pemantauan laut yang dapat mendeteksi dan mengidentifikasi ancaman dengan akurat. Pemantauan wilayah harus dilakukan secara kontinu 24 jam sehari, 7 hari seminggu tanpa henti. Hal ini memastikan bahwa tidak ada celah dalam pemantauan dan memungkinkan deteksi cepat terhadap aktivitas yang mencurigakan.

Indonesia dapat memanfaatkan teknologi drone maritim untuk memperkuat pengawasan di Perairan Natuna. Drone maritim yang dilengkapi dengan sensor dan kamera canggih dapat digunakan untuk patroli udara yang intensif dan pemantauan terhadap aktivitas kapal asing. Dengan demikian, Indonesia dapat meningkatkan kemampuan pengawasan tanpa harus meningkatkan kehadiran personel militer secara signifikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun