Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Penanggulangan HIV dan AIDS, Masih Parsial

21 Oktober 2011   02:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:42 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lembaga donor saat ini berpikir parsial, akibatnya lembaga swadaya masyarakat menjadi parsial dalam menjalankan propgram. Penanggulangan HIV dan AIDS pun kemudian menjadi ekslusif dan hanya didekati dengan displin ilmu kesehatan. Padahal mestinya didekati dengan multidisplin, karena HIV dan AIDS merupakan ketiadaan relasi kuasa yang seimbang.

Demikian, antara lain simpulan dalam Sattelite Meeting yang diadakan dalam Konferensi Asia Pasifik tentang Hak dan Keseharan Seksual dan Reproduksi di UGM. Forum yang diorganisasikan RutgersWPF Indonesia ini, dipandu oleh Sri Kustyuniyati, Ph.D dari RutgersWPF Indonesia. Verorica Siregar, salah satu peserta dalam forum itu mengatakan, sudah saatnya gerakan penanggulangan HIV dan AIDS, dan bentuk program lain yang dikembangkan, harus dilakukan tidak hanya sekedar proyek, melainkan harus menjadi movement, menjadi gerakan. "Beyond the Project," katanya. Networking menjadi prasyarat yang sangat penting  manakala gerakan penanggulangan HIV dan AIDS akan berhasil di Indonesia. Kegagalan yang terjadi, karena masing-masing bekerja sendiri-sendiri, tanpa mau melakukan kerja sama dengan multistakeholder. Gama Triyono, dari PKBI DIY, misalnya, menceritakan pengalamannya mendampingi perempuan remaja jalanan di Jogjakarta. Rodhiyah, bukan nama sebenarnya, selain hidup di jalan, juga difabel--tidak bisa mendengar dan karenanya menjadi tidak bisa bicara, mengalami kehamilan tidak diinginkan, melahirkan dan kemudian bayinya nyaris menjadi korban perdagangan manusia. Ketikas akan mengakses layanan bagi Rodhiyah, semua layanan yang tersedia tidak bisa menerima. Berbagai alasan yang disampaikan. Misalnya, sebuah NGO di Jogjakarta mengatakan, tidak bisa melayani Rodhiyah, karena tidak memiliki konselor yang bisa berkomunikasi dengan Rodhiyah. Sementara Biro Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) tidak bisa memberikan layanan dengan alasan Rodhiyah tinggal di jalanan, sementara tugas pokok dan fungsinya menjalankan mandat UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dinas Sosial yang memiliki shelter atau rumah aman, juga menolak melayani Rodhiyah, dengan dalih untuk masuk ke shleter harus melalui proses razia terlebih dahulu oleh Satpol PP. Setelah dirazia baru akan diserahkan ke Dinas Sosial dan bisa masuk ke rumah aman yang dikelolanya. Menurut Sri Kusyuniati, dalam situasi seperti inilah gerakan membangun aliansi penting dilakukan. Sebab persoalan tidak bisa didekati secara parsial, dan setiap persoalan merupakan sesuatu yang kompleks dan tidak tunggal.***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun