Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Homoseksual Diterima dalam Islam?

25 Oktober 2011   10:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:31 1303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah tanda tanya besar, apakah Islam menerima eksistensi gay dan lesbian? Pertanyaan ini akan dijawab dengan jelas dalam Buku Fiqh Seksualitas: Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-hak Seksualitas, yang diterbitkan PKBI Pusat Jakarta. Buku ini sangat fenomenal karena melakukan kajian mengenai hak-hak seksual, yang salah satunya terkait dengan persoalan orientasi seksual yang seringkali hanya diasosiasikan dengan gay dan lesbian, dengan melakukan eksplorasi terhadap teks-teks Alquran dan Sunnah. Buku yang ditulis oleh 3 figur muslim, Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, KH. Hussein Muhamad, dan Dr. Marzuki Wahid, memberikan kesimpulan, orientasi seksual merupakan kodrati, dan tidak seorang pun bisa memilih untuk dilahirkan dengan memiliki atau tidak memiliki orientasi seksual tertentu. Dengan demikian, orientasi seksual, heteroseksual (menyukai lawan jenis), homoseksual (menyukai sesama jenis), biseksual (menyukai lawan jenis dan sesama jenis sekaligus) dan aseksual (tidak menyukai sesama jenis ataupun lawan jenis), merupakan takdir Tuhan. Gagasan ini setidak-tidaknya hadir sebagai jawaban atas berbagai perdebatan mengenai homosuksual, yang selalu saja masih dianggap sebagai penyimpangan dan tidak manusia. Anggapan yang pada akhirnya melahirkan berbagai tindak kekerasan, diskriminasi, dan pengucilan sosial berdasarkan orientasi seksual. Jika selama ini masayakar bisa menerima orientasi homoseksual dan menolak orientasi seksual yang lain, menurut para penulis, sebabnya masyarakat telah berabad-abad lama berada dalam hegemoni  patriarkhis dan heteronormativitas, sehingga apa yang dianggap benar dan satu-satunya yang benar adalah heteroseksual, yang wajar, yang normal dan alamiah (halaman 17). Selain soal orientasi seksual, buku ini secara panjang lebar juga mengulas persoalan-persoalan seksualitas yang terkait dengan perempuan. Misalnya, anggapan perempuan sebagai sumber fitnah dan makhluk penggoda, banyak aturan dikembangkan yang menyangkut tubuh perempuan. Mereka tidak boleh keluar ruamh tanpa mahram (orang yang sedarah), menutup rapat tubuhnya dan tidak berhias di ruang publik. Dalam bahasa yang lebih sederhana, tubuh perempuan sebagai fitnah dan seksualitas perempuan sebagai ancaman stabilitas sosial keagamaan umat. (halaman 60). Isu lain yang disinggung mengenai sunat perempuan. Dalam buku ini disebutkan, ketika khitan perempuan dianggap sebagai perbuatan mulia, justru merupakan awal dari kontrol atas tubuh perempuan. Hak seksualitas perempuan telah dirampas dan direduksi dengan ajaran khitan perempuan. Pasalnya, seluruh ajaran mengenai khitan  perempuan sesungguhnya merujuk pada praktek sunat laki-laki yang dikaitkan dengan tindakan yang dilakukan Nabi Ibrahim. Manfaat khitan secara jelas bisa dilihat manakala disandarkan kepada laki-laki, misalnya, membersihkan sisa kotoran dalam lipatan kulup penis, membuat lebih sehat secara medis, menambah kenikmatan seksual dan memperlama waktu hubungan seksual bagi laki-laki, karena menurunnya sensitivitas kepala penis). Semua logika khitan di atas sama sekali tidak menemukan konteksnya bagi perempuan. Sebaliknya justru menjadi persoalan karena tindakan khitan bagi perempuan (prakteknya bisa berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, satu budaya dengan budaya lainnya), sangat merugikan kehidupan seksualitas perempuan. Misalnya, dengan disayat atau bahkan dihilangkan sama sekali klitoris perempuan, menjadikan perempuan kesulitan mendapatkan kenikmatan, karena klitoris merupakan pusatnya syarat yang berfungsi setara dengan kepala penis. Meskipun untuk yang terakhir ini memang masih bisa didiskusikan, sebab dalam wacana sensitivitas seksual perempuan, seringkali dianggap tidak hanya terletak pada klitoris, melainkan justru menyebar hampir pada seluruh bagian tubuh perempuan. Berbagai isu konstroversial lainnya dibahas dengan gamblang, misalnya, masalah hak menikmati seksual bagi perempuan, masturbasi dan onani, dan beberapa panduan agar kehidupan seksualitas menjadi maslahat dan bermartabat. Kehadiran buku ini mungkin akan mengundang pertanyaan-pertanyaan besar lebih lanjut, bahkan perdebatan sengit yang bisa jadi sulit ditemukan ujung pangkalnya. Tetapi sebagai upaya memberikan pengembangan gagasan bagi wacana seksualitas, terutama soal orientasi seksual, buku ini cukup memberikan makna yang signifikan.***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun