Kalau orang-orang memilih tempat menunggu buka puasa di fasilitas umum seperti, taman kota, lapangan di pusat kota, pusat perdagangan, dan caf, Kliwon memiliki selera yang berbeda. Ia memilih nongkrong di angkringan ata nasi kucing yang buka di depan gang jalan kampungnya. Sore ini, Kliwon sudah bersiap berangkat ke angkringan Mas Dzul. Ia berangkat lebih awal agar memiliki waktu ngobrol yang lebih panjang.
"Assalamu'alaikum," Kliwon mengucapkan uluk salam. Dzul menjawab ramah sambil mengipasi arang di tungkunya. Percikan bunga api terbang ke mana-mana, dan sepertinya Dzul sudah kebal terhadap panasnya bunga api. Buktinya ia sama sekali tak terpengaruh dengan bunga api yang menempel di tangan, wajah dan juga bajunya.
Di atas tungku itu ada tiga ceret besar, satu ceret untuk air putih, satu ceret jahe, dan satu ceret lagi teh. Bara arang itu menjaga tingkat panas air yang ada di dalam ceret. Sehingga ketika ada pesanan, Dzul bisa cepat menyajikan pesanan minuman dari para pelanggannya. Kliwon sangat suka nongkrong di angkringan Dzul karena orangnya senang humor, dan memiliki pengalaman merantau yang cukup luas. Konon, menurut cerita dari mulut ke mulut, Dzul sudah pernah mengunjungi hampir seluruh provinsi di negeri ini.
"Wisata, Kang?" Tanya Kliwon suatu waktu sambil menyeruput susu jahe kesukaannya.
"Nggaklah, saya dulu kan buruh pembangun jalan raya."
Tak mengherankan, kalau Dzul memiliki cerita banyak mengenai daerah-daerah yang pernah dikunjunginya. Misalnya, di Martapura, Kalimantan Selatan, ia sudah beberapa kali mengunjungi makam Syeh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Tokoh ulama yang menulis kitab Sabilal Muhtadin---kitab fikih Madzhab Syafi'i, yang makamnya tak pernah sepi dari ziarah kaum muslimin dari berbagai daerah. Muhammad Arsyad Al-Banjari menghabiskan masa mudanya di Mekkah sebelum akhirnya menetap di Martapura.
"Kamu hanya ke makam-makam?"
"Kang Kliwon, kalau ke caf-caf mana punya uang," kata Dzul sambil tertawa lebar. Mulutnya terbuka, menunjukkan gigi-gigi yang sama sekali tak rapih, ujungnya tak beraturan, tumbuh ke berbagai arah. Makanya, sering terdengar kabar, istrinya Dzul sering ke Puskesmas di Kota Kecamatan, untuk melakukan penjahitan bibir yang sobek.
"Nah, Sapar datang, tambah gayeng nih," kata Kliwon, ketika ia melihat Sapar muncul di ujung gang kampung. Soalnya, Sapar juga pernah merantau ke berbagai daerah sebagai pedagang keliling, Paling lama ia tinggal di Pontianak, si Kota Khatulistiwa.
"Nah, kalau pengalamanmu di rantau bagaimana?" Tanya Kliwon setelah sapar mengambil duduk di samping Kliwon.
"Pengalaman tentang apa?"