Bandar Udara Kaesiepo, Biak Numfor, Papua tampak suram. Hanya ada tiga pesawat baling-baling yang diparkir. Rasa lega langsung menyerbu, saat pesawat yang saya tumpangi mendarat dengan mulus, meski gerimis terus membasahi landasan yang tidak terlalu panjang. Perasaanku yang kini selalu menghantui perasaanku setiap kali menggunakan jasa penerbangan.
Saya tidak sabar menanti malam. Jarum jam dinding di restoran sebuah hotel tempatku menginap seakan berputar begitu lambat. Saya sedang menunggu perempuan istimewa di kalangan masyarakat adat Biak, Selvi Rumbiak, namanya. Setelah hampir tiga puluh menit menunggu, perempuan yang sudah berumur 50-an tahun itu, datang juga. Saya berdiri menyambutnya, menjabat tangan dengan erat.
Setelah memesan minuman dan pisang goreng keju, Selvi Rumbiak bercerita dengan penuh semangat. Tidak saja berbagai aktivitas yang selama ini dilakukannya dengan sukarela, tetapi juga kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Misalnya, soal ketidakpedulian pemerintah terhadap berbagai persoalan yang dihadapi remaja. "Sudah jelas remaja membutuhkan informasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi, pemerintah masih tidak melakukan apa-apa," katanya dengan bahasa Indonesia yang berlogat bahasa Biak.
Menurut Selvi, remaja Biak dihadapkan pada masalah kehamilan yang tidak diinginkan, konsumsi minuman keras dan seks bebas. Tiga persoalan ini akan membawa persoalan baru bagi remaja. Kehamilan tidak Diinginkan menghadapkan remaja perempuan dikeluarkan dari sekolah. "Katanya untuk menjaga citra sekolah," ungkapnya.
Sementara itu, hubungan seks bebas di kalangan remaja menjadikan mereka rentan terhadap infeksi menular seksual, seperti HIV. Jika kondisi ini dibiarkan, Biak akan mengalami masa yang disebut Lost Generation. Sebuah rentang yang menggambarkan sekian banyak warga kampung tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan untuk dirinya sendiri.
Sebagai perempuan Biak yang menyandang predikat Binsyowi, Selvi tidak mungkin tinggal diam. Ia memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyelamatkan para remaja di kota Biak. Sebab, Binsyowi menunjukkan makna sebagai perempuan yang terhormat dan kata-katanya dipercaya warga suku Biak yang lain. Ia merasa harus mengambil tanggung jawab itu. "Tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemerintah dan Dewan Adat," ungkapnya.
Sebagai jalan untuk menjalankan misi penyelamatan itu, Selvi kini memimpin lembaga Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Cabang Biak. "Saya bekerja sukarela, tidak mendapat gaji," katanya dengan bangga.
Melalui lembaga ini, Selvi menggerakkan remaja untuk melakukan berbagai pendidikan kesehata kesehatan reproduksi. Ia melatih para remaja menjadi peer educators. "Remaja itu lebih percaya dengan teman sebayanya," tutur Selvi.
Maka tidak mengherankan, ratusan menjadi begitu dekat dengandengan Selvi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, remaja sekolah, remaja adat, remaja gereja, dan remaja masjid. "Remaja dari mana saja, sama masalahnya," katanya.
Sebagai perempuan Binsyowi, Selvi juga menjadi tempat mengadu para ibu rumah tangga. Mereka menyampaikan berbagai persoalan. Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, kehamilan, persoalan dengan anak, dan masalah pendidikan anak. "Ada ibu yang datang, dia bilang anaknyaanaknya sekolah di kota. Ibu ini tinggal di gunung, sehingga ia akan tengok anaknya setelah punya uang," katanya.
Selvi tidak bisa mengerti bagaimana anak perempuan dari ibu itu bisa bertahan hidup di kota, sementara orang tuanya hanya akan tengok setelah mereka memiliki uang. "Situasi seperti ini tidak pernah dipikirkan orang," ungkapnya.