Dalam an-Nur/24:15, Allah berfirman :
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (An Nur 15)
Dalam al-Isra’/17:36 Allah berfirman :
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawabannya”.
Selain itu, sejumlah hadist diriwayatkan sabda Nabi Muhammad yang terkait dengan sikap dalam menerima berita antara lain :
“jauhilah dirimu dari persangkaan karena persangkaan itu adalah sedusta-dusta perkataan” (HR Bukhari : 5144)
“Pelan—pelan itu dari Allah, sedangkan terburu-buru itu dari setan” (Musnad Abu Ya’la 7/247, dishahihkan oleh Albani : 4/4041)
Celakanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memiliki wewenang menerbitkan pendapat dan fatwa tentang urusan agama, tidak melakukan tabayyun secara benar. Mereka juga terlalu tergesa-gesa dalam mengeluarkan pendapat atau fatwa bahwa Gubernur Ahok memang telah melakukan penistaan terhadap agama Islam. Buktinya, MUI tidak meminta klarifikasi kepada Ahok. MUI mendasarkan pendapatnya pada berita bohong atau hoax yang disebarkan melalui Facebook oleh seseorang yang tidak dikenal sebelumnya.
Setelah dilakukan penelitian terhadap potongan pidato Ahok yang asli ternyata berita yang disebarkan itu sudah diedit terlebih dahulu. Ada kata yang dibuang, sehingga makna kalimat itu berubah. Lalu ada tambahan berupa pemberian judul yang sifatnya provokatif.
Pada hal dalam pidato selama lebih satu jam, Ahok sama sekali tidak terkandung penghinaan terhadap al-Quran. Dalam pidato tanpa teks itu, Ahok mempersilahkan rakyat tidak memilihnya dalam Pilkada 2017 karena dibodohi oleh orang-orang yang memakai surat Al-Maidah ayat 51. Ujaran Ahok itu sebenarnya dapat disandingkan dengan sebuah pidato Habib Rizieq, pemimpin FPI, yang justru menghujat ulama-ulama yang digolongkannya ulama abal-abal, ulama fasik dan ulama bejat, yang membodohi umat dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran.
Pada hal ulama di Indonesia tidak ada yang diverifikasi sebagai ulama yang benar dan ulama abal-abal. Semua sama, seperti Habib Rizieq. Ia disebut ulama karena selalu memakai jubah dan pintar berorasi. Ada pula yang disebut ulama karena memiliki padepokan atau sering mengisi acara dakwah di televisi, seperti Gatot Brajamusti, Kanjeng Dimas dan Guntur Bumi. Tapi tidak ada lembaga resmi yang memberikan sertifikat ulama kepada mereka.