Mohon tunggu...
Misyelina Artikasari
Misyelina Artikasari Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mencintai sepi

Anak kedua yang biasa-biasa saja. Menempuh pendidikan sekolah kejuruan perkantoran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maaf yang Tak Berarti

23 Januari 2022   17:00 Diperbarui: 24 Januari 2022   06:47 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika mentari telah tergatikan rembulan. Saat jejak menapakan bekas dijalan. Kepala yang enggan menoleh kebelakang dan terus menuju depan. Tak ada momen  lampau yang tersisa dari banyaknya kenangan yang ditinggalkan. Berusaha mencari pelita ditengah temaramnya malam yang memilukan.

Kisah dimana maaf tak ada lagi punya arti, dan penyesalan yang akan selalu menaungi jiwa. Hanya jika kata itu berharga dalam hidup, akankah kamu juga menghargainya? Laksana api yang menggerogoti kayu hingga menjadi abu, itulah dirimu yang menyepelekan empat kata itu. Api penyesalan akan selalu bersarang di dalam hatimu, membuatmu resah tak kepalang. Dan jika kamu menghargainya, mungkin aku masih ada dalam genggamanmu sampai saat ini.  

Kamu telah menodai harga diri yang selama ini aku tempatkan di atas nyawaku sendiri. Kamu membuat kesalahan fatal yang membuat penyesalan datang dikemudian hari. Dan kamu lupa, arti mengucapkan kata maaf. Kamu linglung oleh urusan dunia yang hanya akan membutakanmu oleh hasrat. Jika saja kamu berusaha menahan diri, mencekal hasrat setanmu itu, kamu tidak akan menodai cintaku. Cinta yang sama derajatnya dengan harga diri, kamu telah menghancurkan semuanya. Kamu meludahi wajahku dengan kelakuanmu sampai kata maaf itu enggan aku lontarkan dari mulutku.

"Maafkan aku, Sayang, aku benar-benar menyesal. Aku telena oleh kesenangan sesaat. Tolong maafkan diriku," katamu dengan air mata sesal yang menetes di pipi tirusmu. "Kalau saja penyesalan itu tidak datang menyadarkanmu, akankah kamu akan mengulanginya kembali? Akankah kamu menjadi dirimu yang aku kenal dulu? 

Akankah kamu akan selalu mengenggam tanganku saja nanti dan seterusnya? Kamu membuatku terhina oleh ulahmu yang bejat itu, kamu menghancurkan apa yang telah kita bangun bersama, janji setia, kau sudah hancurkan itu dengan semena-mena. Kamu tempatkan aku di tempat paling hina saat ku tahu kamu kebablasan dengan hasratmu. Aku malu, aku kecewa, dan tak ada lagi maaf bagi dirimu." Tangismu tersedu-sedu saat aku menyelesaikan ucapanku. Tubuhmu ambruk, berlutut dihadapanku. Air mataku ikut menetes, meresapi kesedihan yang sedang terjadi.

"Jika saja kesalahanmu tak sefatal ini, aku masih bisa menberimu kesempatan lagi, tapi ini ... kamu menghianati cintaku, kamu meremehkan cinta yang dulu kita bangun bersama. Hari-hari yang kita lewati bersama dengan saling memberi sandaran, kini sirna sudah. Bahkan melihat bayanganmu saja aku sudah tak sudi." 

Air mataku menetes deras kala kamu memeluk kakiku erat sambil menggumamkan kata maaf dengan nada yang pilu. Kami menangis bersama, mengasihani keadaan yang membuat kami hancur bersama. "Maafkan aku, Sayang. Kumohon maafkan aku ... aku sangat menyesal."

Kuusap jejak air mata di pipiku dan melihat dirimu yang masih memeluk erat kakiku sambil berlutut. "Saat kamu melakukan itu, apakah kamu memikirkan akibatnya nanti? Tidak kan? Kini, tolong lepaskan aku. Biarkan aku menyembuhkan luka yang kau buat seorang diri. Dan membiarkanmu mati dengan penyesalan yang bertubi-tubi menggerogoti jiwamu." Kulepas secara paksa dekapanmu pada kakiku, dan berjalan meninggalkan dirimu yang berteriak memanggil namaku dengan pilu.

Tiada tempat bagi yang berhianat. Harga diri di atas cinta itu harus. Jangan sampai dirimu mabuk oleh cinta yang hanya akan membuatmu tersakiti. Yang datang akan pergi. Yang berhianat akan mati. Penyesalan akan selalu ada, tapi maaf tak selalu harus ada. Biar orang yang menyepelekan kata maaf tahu, seberapa besar makna empat kata itu setelah melakukan kesalahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun