Pendahuluan
Digitalisasi perpajakan bukan sekadar pilihan, melainkan keniscayaan. Di berbagai negara, sistem perpajakan yang berbasis teknologi informasi telah menjadi tulang punggung untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus menekan kebocoran. Indonesia pun tidak mau ketinggalan. Pada 1 Januari 2025, pemerintah resmi meluncurkan Core Tax Administration System atau Coretax, sebuah sistem terpadu yang diklaim mampu menyederhanakan pelaporan, pembayaran, hingga pemeriksaan pajak.
Harapannya, Coretax bisa menjadi mesin baru penerimaan negara. Bahkan, pemerintah sempat menyebut potensi tambahan penerimaan bisa mencapai ribuan triliun rupiah dalam jangka panjang. Namun, realitas di lapangan justru berbeda. Data resmi per Mei 2025 menunjukkan penerimaan pajak turun dibandingkan Mei 2024. Padahal, semula dijanjikan transisi hanya butuh waktu 2–3 bulan. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Coretax gagal?
Tulisan ini mencoba menelaah permasalahan tersebut secara ilmiah-populer, dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Mengapa Coretax Diterapkan
Sebelum menilai hasil, penting untuk memahami alasan pemerintah meluncurkan Coretax. Sistem perpajakan lama di Indonesia menggunakan berbagai aplikasi terpisah: e-Faktur untuk PPN, e-Billing untuk pembayaran, e-Filing untuk laporan SPT, dan sejumlah aplikasi lain untuk keperluan tertentu. Situasi ini menciptakan kerumitan, baik bagi wajib pajak maupun otoritas pajak.
Coretax hadir untuk:
1. Integrasi Data – Semua proses, mulai dari registrasi hingga penagihan, diintegrasikan dalam satu sistem.
2.  Efisiensi Administrasi – Dengan satu pintu, biaya kepatuhan wajib pajak diharapkan turun.
3.  Transparansi dan Akuntabilitas – Sistem terpadu memudahkan pelacakan data, menutup celah manipulasi, dan menekan potensi korupsi.
4.  Peningkatan Penerimaan – Dengan basis data yang rapi dan real-time, pemerintah berharap penerimaan pajak meningkat signifikan.