Mohon tunggu...
Jannu A. Bordineo
Jannu A. Bordineo Mohon Tunggu... Penulis - Pengarang

Jannu A. Bordineo, lahir di Gersik, sebuah kampung di Kabupaten Penajam Paser Utara yang sering disalah kira dengan salah satu kabupaten di Jawa. Lulusan teknik yang menggandrungi sastra. Mulai menulis cerita sejak ikut lomba mengarang cerpen sewaktu SD. Buku kesukaannya adalah Jiwa Pelaut karya Moerwanto. Temui dia di kedalaman hutan atau di keluasan lautan, karena dia pendamba ketenangan. http://www.lautankata.com/ fb.com/bordineo IG: @bordineo.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bab 1

15 Juni 2019   14:53 Diperbarui: 15 Juni 2019   15:00 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BARA API itu merah terang menyala-nyala. Panas dan terangnya bertambah kala udara menyapu tungku tempatnya berada. Saking panasnya, bilah logam yang ada di atasnya memijar hingga sewarna bara.

Udara terus ditiupkan dari ubub[1]. Orang dibalik alat itu adalah Sakti. Pemuda itu bermandi peluh, baik karena usahanya mengububi maupun panas dari tungku. Yah, panasnya benar-benar tak tertahankan.

Begitu penjepit mengambil bilah logam di dalam tungku, Sakti buru-buru lari menjauhkan diri.

"Woi, jangan kabur!" seru orang yang memegang penjepit yang tak lain adalah Sitok.

"Kau bilang itu yang terakhir untuk hari ini?" Sakti berkilah. Sudah setengah hari ini dia habiskan waktu membantu Sitok.

"Mana bisa pandai bekerja tanpa panjak[2]!"

"Biasanya bisa. Sudahlah kerjakan saja sendiri!"

Dan dentingan palu yang beradu dengan besi berpijar dan beradu lagi dengan paron yang menjawab. Sitok mulai menempa sambil menggerutu. Otot-otot Sitok menegang setiap kali mengayunkan palu besi yang berat. Siapa pun yang melihat otot-otot itu pasti tahu, pemiliknya sudah mengayunkan palu sejak masih belia.

Selama setengah tahun ini Sakti meminta sekaligus membantu Sitok membuatkan keris untuk dirinya. Keris itu untuk menggantikan keris pembagian miliknya yang patah ketika dia pakai dalam latihan. Meskipun sudah membawa Keris Naga Angin, Sakti ingin memiliki pamor yang benar-benar menjadi miliknya sendiri. Pamor yang bisa diselitkan di pinggang tanpa repot-repot disembunyikan. Pamor yang bisa digunakan sewaktu-waktu tanpa perlu risau terbongkar jati diri rahasia yang disandangnya.

Sitok sendiri tidak keberatan membantu Sakti. Sebenarnya dia juga membantu dirinya sendiri. Setelah lulus dari tingkat awal di Perguruan Naga, Sitok mendalami ilmu pandai. Maka dari itu, ketika Sakti mendatanginya, dia dengan senang hati menyambut temannya itu. Apalagi Sakti tidak keberatan menjadi panjak-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun