Indonesia dikenal sebagai surga wisata dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Namun, di balik pesona destinasi wisata seperti Bali, Labuan Bajo, Raja Ampat, dan Kepulauan Seribu terdapat tantangan serius yang jarang dibicarakan secara terbuka: pengabaian terhadap keadilan lingkungan. Fenomena ini menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan pariwisata di tanah air.
Keadilan lingkungan merujuk pada distribusi yang adil atas manfaat dan beban lingkungan di antara seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok rentan seperti masyarakat adat, nelayan tradisional, dan komunitas lokal. Dalam konteks pariwisata, keadilan lingkungan berarti memastikan bahwa pembangunan destinasi tidak merugikan ekosistem maupun hak-hak masyarakat sekitar.
Sayangnya, banyak proyek pariwisata di Indonesia masih mengabaikan prinsip keadilan lingkungan. Beberapa bentuk pengabaian yang sering terjadi antara lain: 1). Pembangunan tanpa partisipasi masyarakat lokal, seperti yang terjadi dalam proyek-proyek besar di kawasan Mandalika dan Labuan Bajo. 2) Eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan, seperti pembangunan resort di kawasan konservasi atau reklamasi pantai. 3) Minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan limbah dan dampak lingkungan dari aktivitas wisata.
Pengabaian ini sering dibungkus dengan narasi “pembangunan demi kemajuan” atau “peningkatan ekonomi lokal”, padahal kenyataannya justru memperparah ketimpangan dan kerusakan lingkungan.
Ketika keadilan lingkungan diabaikan, keberlanjutan pariwisata menjadi ilusi. Beberapa dampak nyata yang sudah terlihat di Indonesia antara lain:
- Degradasi lingkungan seperti pencemaran laut di Bali dan Raja Ampat.
- Konflik sosial antara investor dan masyarakat setempat, seperti di Pulau Komodo.
- Penurunan daya tarik wisata akibat hilangnya keaslian dan kerusakan ekosistem.
Tanpa keadilan lingkungan, pariwisata hanya akan menjadi alat eksploitasi jangka pendek, bukan motor pembangunan berkelanjutan. Untuk mengatasi hal ini, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis hak. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil:
- Audit Lingkungan dan Sosial: Setiap proyek wisata harus melalui penilaian dampak lingkungan dan sosial yang transparan dan partisipatif.
- Pemberdayaan Komunitas Lokal: Libatkan masyarakat sebagai pelaku utama, bukan hanya objek wisata.
- Penegakan Regulasi: Tegakkan UU Pariwisata dan UU Lingkungan Hidup secara konsisten, termasuk terhadap pelanggaran oleh investor besar.
- Promosi Ekowisata dan Geowisata: Dorong model wisata yang berbasis konservasi dan edukasi, seperti yang dikembangkan di kawasan Ciletuh-Palabuhanratu Geopark dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Keberlanjutan pariwisata tidak bisa hanya diukur dari jumlah kunjungan atau pendapatan devisa. Ia harus ditakar dari seberapa adil dan lestari dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat. Tidak mengabaikan keadilan lingkungan adalah langkah awal menuju pariwisata Indonesia yang benar-benar berkelanjutan.
“Keindahan alam Indonesia akan tetap memesona jika dijaga dengan keadilan, bukan hanya dengan promosi.”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI