Mohon tunggu...
Rina Kurniawati
Rina Kurniawati Mohon Tunggu... Konsultan dan Akademisi

Berbagi wawasan tentang kepemimpinan, karakter, pariwisata, dan dinamika sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Band Wagon Effect dan Dinamika Demonstrasi di Indonesia

1 September 2025   23:47 Diperbarui: 1 September 2025   23:54 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sepekan terakhir, Indonesia diguncang oleh gelombang demonstrasi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, diantaranya buruh, pengemudi ojek online, mahasiswa, dan kelompok masyarakat lainnya. Aksi ini dipicu oleh berbagai isu, mulai dari rencana kenaikan tunjangan DPR, tuntutan reformasi institusi, hingga ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi dan sosial. Di tengah eskalasi ini, muncul satu fenomena psikologis yang patut dianalisis lebih dalam: Bandwagon Effect, atau efek ikut-ikutan, yang berperan dalam memperluas dan mempercepat mobilisasi massa.

Bandwagon Effect adalah fenomena psikologis di mana individu cenderung mengikuti tindakan atau pendapat mayoritas, bukan karena keyakinan pribadi, tetapi karena dorongan sosial untuk "menjadi bagian dari kelompok." Dalam konteks politik dan sosial, efek ini sering muncul dalam pemilu, kampanye, atau demonstrasi, ketika opini publik terbentuk dan menyebar secara masif melalui media dan jejaring sosial.

Dalam demonstrasi, Bandwagon Effect dapat mendorong partisipasi spontan dari individu yang sebelumnya pasif, karena mereka melihat banyak orang turun ke jalan dan merasa terdorong untuk ikut serta, baik karena solidaritas, tekanan sosial, atau rasa ingin tahu.

Demonstrasi yang terjadi sejak 25 Agustus hingga 1 September 2025 dipicu oleh beberapa isu utama: usulan kenaikan tunjangan DPR di tengah kondisi ekonomi yang sulit, korban jiwa dalam demonstrasi, tuntutan reformasi institusi, termasuk transparansi gaji DPR, penghapusan outsourcing, dan penolakan PHK massal, dan aksi lanjutan di berbagai daerah, seperti pembakaran gedung DPRD di Pekalongan dan penjarahan rumah anggota DPR dan menteri.

Situasi ini diperparah oleh amplifikasi media sosial, di mana video, opini, dan ajakan aksi menyebar cepat, menciptakan atmosfer emosional yang memicu partisipasi luas.

Fenomena Bandwagon Effect terlihat jelas dalam eskalasi demonstrasi:

  1. Partisipasi Meluas Tanpa Koordinasi Formal
    Banyak peserta aksi bukan bagian dari organisasi resmi, melainkan individu yang terdorong oleh narasi publik dan emosi kolektif. Di Yogyakarta, misalnya, demonstrasi tetap berlangsung meski BEM SI menyatakan tidak turun ke jalan.
  2. Mobilisasi Spontan di Media Sosial
    Tagar seperti #IndonesiaCemas dan #ReformasiDPR menjadi trending, memicu gelombang opini dan ajakan aksi. Video viral tentang korban jiwa dan penjarahan rumah anggota DPR memperkuat sentimen publik.
  3. Perluasan Isu dan Tuntutan
    Awalnya berfokus pada tunjangan DPR, tuntutan berkembang menjadi reformasi Polri, revisi UU Perampasaan Aset, Penghapusan Outsourcing dan  Kenaikan Upah Buruh. Ini menunjukkan bagaimana efek ikut-ikutan memperluas cakupan isu tanpa struktur yang jelas.
  4. Ketegangan dan Kerusuhan
    Di beberapa wilayah seperti Surabaya dan Bali, demonstrasi berubah menjadi aksi anarkis, termasuk pembakaran gedung dan penjarahan. Ketika massa bertambah, kontrol terhadap arah gerakan melemah, dan efek domino terjadi.

Media sosial dan algoritma platform digital memperkuat Bandwagon Effect. Konten yang mendapat banyak interaksi akan lebih sering muncul di beranda pengguna lain, menciptakan ilusi bahwa "semua orang peduli" atau "semua orang ikut demo." Ini memperkuat dorongan psikologis untuk ikut serta, meski tanpa pemahaman mendalam terhadap isu.

Media arus utama juga berperan. Liputan intensif tentang lokasi demo, jumlah massa, dan dampak ekonomi memperkuat persepsi bahwa demonstrasi adalah gerakan besar yang layak diikuti. Bahkan, beberapa media menyebutkan bahwa demonstrasi telah menekan nilai tukar rupiah dan indeks saham.

Efek dari demonstrasi dan Bandwagon Effect tidak hanya bersifat politik, tetapi juga sosial dan ekonomi:

  • Ketidakstabilan Ekonomi
    Nilai tukar rupiah melemah hingga Rp16.500 per dolar AS, dan IHSG turun 1,53%. Ketidakpastian sosial membuat pelaku pasar menahan investasi dan konsumen menunda belanja.
  • Gangguan Mobilitas dan Layanan Publik
    Penutupan jalan, pembakaran halte Transjakarta, dan penutupan stasiun MRT menunjukkan dampak langsung terhadap aktivitas harian masyarakat.
  • Polarisasi Sosial
    Munculnya narasi pro dan kontra terhadap demonstrasi di media sosial menciptakan polarisasi, di mana sebagian masyarakat mendukung aksi sebagai bentuk perlawanan, sementara lainnya mengkritik sebagai tindakan destruktif.

Bandwagon Effect dalam demonstrasi bukanlah hal negatif secara mutlak. Ia bisa menjadi katalis perubahan jika diarahkan dengan bijak. Namun, tanpa edukasi politik dan literasi media, efek ini bisa berubah menjadi kerusuhan tanpa arah.

Beberapa tantangan yang perlu dihadapi:

  1. Minimnya Literasi Kritis
    Banyak peserta aksi tidak memahami sepenuhnya tuntutan atau dampaknya. Mereka ikut karena dorongan emosional, bukan analisis rasional.
  2. Kurangnya Kepemimpinan Terstruktur
    Gerakan yang tumbuh dari efek ikut-ikutan sering kali tidak memiliki pemimpin atau strategi jangka panjang, sehingga mudah terpecah atau disusupi.
  3. Risiko Manipulasi Informasi
    Dalam atmosfer yang emosional, hoaks dan provokasi mudah menyebar. Tanpa verifikasi, opini publik bisa dibentuk oleh narasi palsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun