Asesmen Nasional, atau yang lebih dikenal dengan singkatan AN, kini menjadi salah satu agenda penting dalam dunia pendidikan Indonesia. Banyak guru, terutama di jenjang SD, mengaitkan pelaksanaan AN dengan penilaian terhadap kinerja mereka di kelas. Wajar jika kemudian muncul rasa was-was ketika hasil ANBK (Asesmen Nasional Berbasis Komputer) tak seindah harapan. Apalagi, sebagai guru kelas 5, kami kerap menjadi ujung tombak yang seolah-olah paling bertanggung jawab atas hasil tersebut.
Namun, mari kita tarik napas sejenak dan mencoba melihat dari sudut pandang yang lebih luas. AN sejatinya bukan ujian kelulusan, bukan pula cerminan langsung dari kualitas guru kelas 5 semata. Asesmen Nasional dirancang untuk menjadi alat diagnosis sistem Pendidikan, bukan alat vonis individu. Hasilnya bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memberi gambaran kondisi nyata dari proses pembelajaran yang telah terjadi selama ini.
Salah satu hal yang kerap terlupakan adalah bahwa kemampuan literasi dan numerasi peserta didik tidak terbentuk dalam semalam. Anak-anak yang hari ini duduk di kelas 5 membawa "jejak belajar" dari jenjang sebelumnya, mulai dari TK, kelas 1 hingga kelas 4. Maka jika hasil AN menunjukkan capaian yang belum optimal, itu adalah sinyal untuk seluruh ekosistem pembelajaran, bukan hanya satu kelas atau satu guru.
Saya sendiri, sebagai guru kelas 5, pernah merasa sedih dan cemas ketika hasil ANBK siswa saya terlihat "merah". Rasanya seperti tanggung jawab itu jatuh di pundak saya sendirian. Tapi semakin saya pahami maksud dari AN, saya mulai sadar bahwa hasil ini bukan akhir, melainkan titik tolak untuk memperbaiki. Ini adalah cermin bagi kita semua, bukan cambuk untuk satu pihak.
Alih-alih menghindar atau merasa disalahkan, kita bisa menjadikan hasil AN sebagai bahan refleksi bersama. Bagaimana pendekatan pembelajaran yang kita pakai selama ini? Apakah peserta didik sudah cukup dilatih berpikir kritis dan logis, bukan sekadar menghafal? Apakah waktu membaca di kelas cukup? Apakah soal-soal latihan sudah menantang kemampuan berpikir tingkat tinggi?
Dari sini, guru memerlukan dukungan konkret, bukan hanya sekadar apresiasi kata-kata. Pendampingan dalam membaca hasil AN, pelatihan dalam menyusun pembelajaran berbasis literasi dan numerasi, serta kolaborasi antar jenjang untuk menyamakan visi sangat dibutuhkan. Pendidikan adalah proses berjenjang, dan hasil asesmen seharusnya juga menjadi tanggung jawab kolektif, bukan individu.
Kita juga perlu menyuarakan bahwa pemahaman tentang AN ini perlu dimiliki oleh semua pemangku kepentingan: kepala sekolah, orang tua, bahkan peserta didik itu sendiri. Jika seluruh komunitas sekolah memahami bahwa AN adalah alat bantu untuk tumbuh bersama, maka tekanan itu bisa berubah menjadi motivasi untuk berbenah.
Sebagai guru, kita tentu ingin melihat anak-anak berkembang dengan baik. Tapi kita juga perlu ruang untuk tumbuh. AN seharusnya menjadi pemantik untuk saling belajar dan berbagi praktik baik. Bukan alat untuk menyudutkan, tapi jendela untuk melihat hal-hal yang selama ini mungkin terlewatkan.
Akhirnya, saya percaya bahwa guru yang diberi ruang refleksi dan kesempatan berkembang akan jauh lebih siap membimbing peserta didik dengan hati. Asesmen Nasional bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari pembelajaran yang lebih bermakna. Mari kita maknai AN bukan sebagai beban, melainkan sebagai undangan untuk bergerak bersama. Dari sekadar mengajar menjadi mendidik sepenuh jiwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI