Pada tulisan terdahulu, saya banyak mendapat kritik karena mengusulkan 50 persen dana Makan Bergizi Gratis (MBG) diganti dengan dana dari Corporate Social Responsibility (CSR). Banyak yang menilai pendapat itu tidak realistis, bahkan dianggap terlalu optimis. Saya memahami kritik tersebut, tetapi izinkan saya menjelaskan kembali maksud dari gagasan ini dan mengapa menurut saya tetap penting untuk diperbincangkan.
MBG dan Beban APBN
Program MBG sejatinya merupakan investasi jangka panjang bangsa. Anak-anak yang terpenuhi gizinya akan tumbuh sehat, cerdas, dan produktif. Namun, jika seluruh pembiayaan program ini ditanggung dari APBN, bebannya sangat besar. Di saat bersamaan, APBN juga harus menopang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, subsidi energi, hingga program sosial lain.
Kekhawatiran muncul: apakah negara mampu konsisten membiayai MBG penuh, tanpa mengorbankan program prioritas lain? Di sinilah gagasan saya muncul: menggeser sebagian beban itu kepada sektor swasta melalui CSR.
Potensi Dana CSR
Secara hukum, perusahaan, terutama yang bergerak di bidang sumber daya alam atau BUMN, memiliki kewajiban menyalurkan CSR. Praktiknya, CSR biasanya sebesar 2–4 persen dari laba bersih perusahaan. Walau terlihat kecil, total nilai CSR nasional sesungguhnya cukup signifikan jika dikumpulkan.
Faktanya, sudah ada perusahaan yang menyalurkan CSR ke bidang gizi dan pendidikan. Sebuah grup swasta pernah menggelar program makan bergizi di 31 sekolah di 13 kota. Sebuah perusahaan penerbangan beberapa kali mengadakan program makan bergizi gratis di sekolah dasar di daerah sekitar Tanggerang. Hasilnya nyata: UMKM lokal yang ikut memasok makanan mencatat kenaikan pendapatan rata-rata 33,7%.
Artinya, sudah ada preseden positif bahwa CSR bisa mendukung program MBG.
Realitas Tantangan
Namun, apakah langsung 50% pembiayaan MBG bisa diganti oleh CSR? Di sinilah kritik banyak pihak menjadi masuk akal.