Mohon tunggu...
Misri Gozan
Misri Gozan Mohon Tunggu... Guru Besar Teknik Kimia - UI, Ketua BATAP LAM TEKNIK-IABEE Persatuan Insinyur Indonesia

Ketua BATAP dan Komite Eksekutif LAM TEKNIK, Persatuan Insinyur Indonesia Guru Besar Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Pengasuh Pendidikan Dasar, Menengah dan Pesantren

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akreditasi Dikembalikan ke Negara? Siap-siap Macet Lagi?

16 Mei 2025   23:10 Diperbarui: 7 Juni 2025   22:09 9992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 4.500 perguruan tinggi dan lebih dari 31.000 program studi (data PDDIKTI 2023). Apakah masuk akal jika semuanya harus dinilai oleh satu lembaga negara, yakni BAN-PT, yang hanya punya maksimum 9 orang pengurus (total anggota Majelis Akreditasi maupun Dewan Eksekutif ) dengan sekitar 40 staf? Belum lagi fakta bahwa BAN PT sepenuhnya masih bergantung dari kucuran dana pemerintah.  

Dulu sebelum 2020an, saat BAN-PT menangani semuanya, antrean panjang, backlog laporan, dan visitasi singkat ala "cepat saji" adalah cerita umum. Semua prodi dinilai berdasarkan instrumen yang sama pula. Kini, LAM-LAM hadir membawa spesialisasi, LAM Teknik untuk rekayasa, LAM Kependidikan untuk pendidikan, LAM PTKes untuk kesehatan, LAM INFOKOM untuk sistem informasi dan komputer, LAM EMBA untuk ekonomi, manajemen dan bisnis. Dan seterusnya.

Turunnya Independensi Penilaian

Jika akreditasi berada sepenuhnya di bawah negara, apakah mutu akan dijaga dengan objektif? Atau akan muncul tekanan politis, birokrasi yang rumit, bahkan potensi ketidakterbukaan publik? Penjaminan mutu memerlukan kebebasan berpikir, bukan semata-mata instrumen kontrol negara.

Selain itu, LAM-LAM di Indonesia memiliki rujukan dan afiliasi dengan lembaga akreditasi internasional yang mensyaratkan dan mengawasi kemandirian serta independensi mereka. Hal ini memastikan bahwa proses akreditasi tetap objektif dan sesuai dengan standar global. Meskipun demikian, pengawasan oleh BAN-PT dan kementerian tetap dilakukan sebagai tanggung jawab negara untuk memastikan akuntabilitas dan kualitas pendidikan tinggi nasional.

Lihatlah Dunia: Apakah Negara Lain Berhasil?

Kita tidak hidup di ruang hampa. Mari tengok negara-negara yang memang mengelola akreditasi melalui pemerintah pusat. Prancis, misalnya. Di negara ini akreditasi dilakukan oleh Haut Conseil de l’évaluation de la recherche et de l’enseignement supérieur (atau High Council for the Evaluation of Research and Higher Education, disingkat HCERES). Ini lembaga independen, tapi dibiayai penuh oleh negara. Sistem pendidikan tinggi di Prancis memang sangat terpusat, hampir semua seragam mutunya dan jumlah institusinya pun jauh lebih sedikit dari Indonesia. Jadi memang isu akreditasi ini nyaris bukanlah hal yang cukup hangat untuk dibicarakan.

Negeri Tiongkok yang dipimpin partai komunis jelas bersifat sentralistik dalam segala hal. Termasuk akreditasi, seluruh prosesnya dikendalikan oleh Kementerian Pendidikan. Namun, birokrasi mereka sangat besar dan budaya kontrol negara kuat. Budaya kontrol oleh negara ini menjadi kata kunci kesuksesannya. 

Vietnam dan Iran juga masih mengandalkan tangan kementerian untuk akreditasinya. Namun, efisiensi dan inovasi mereka sangat rendah dalam hal ini. Bahkan kini sebenarnya pemerintah Vietnam mulai mendorong akreditasi oleh multi-lembaga.

National Center for Academic Accreditation and Assessment (NCAAA) yang beroperasi di Arab Saudi adalah badan akreditasi nasional yang memiliki dana besar dan profesional penuh waktu. Jelas ini bukanlah kondisi yang bisa dengan mudah direplikasi di Indonesia.

Kesimpulan dari benchmarking ini jelas: negara-negara tersebut berhasil karena mereka sangat terpusat, kuat secara anggaran, dan memiliki jumlah institusi yang lebih sedikit. Indonesia, dengan keberagamannya, geografinya, dan sistem otonomi daerah, tidak cocok menerapkan pendekatan sentralistis penuh.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun