Kami turun, membeli tiket, dan berjalan ke area penangkaran. Seekor gajah lewat dengan langkah pelan tapi anggun, membawa tumpukan jerami di belalainya. Saya perhatikan anak-anak yang matanya berbinar --- mungkin inilah momen yang mereka tunggu sejak di perbatasan Metro tadi.
Istri saya tersenyum sambil memotret dari jauh, lalu berkata pelan, "Tuh, akhirnya semua keinginan terpenuhi juga." Saya jawab, "Iya, walau jalannya muter dulu, tapi justru itu yang bikin seru."
Kami habiskan sore di Way Kambas dengan menikmati suasana alam, udara segar, dan sesekali bercanda dengan pemandu wisata yang ramah. Waktu berjalan cepat, matahari mulai turun, memantulkan warna oranye di punggung gajah-gajah besar itu.
Sebelum meninggalkan area, kami sempat berfoto bersama di depan papan bertuliskan "Way Kambas -- The Land of Elephants." Si bungsu berdiri paling depan, masih dengan senyum lebar. Mungkin dalam hatinya ia berpikir: dari laut, ke gunung, sampai ke gajah --- semua sudah dilihat dalam satu perjalanan.
Penutup: Menutup Perjalanan di Ujung Sumatera
Malam itu kami memilih menginap tak jauh dari Way Kambas, di sebuah penginapan sederhana yang dikelilingi pepohonan tinggi dan suara serangga malam. Angin terasa lembut, membawa aroma tanah basah dan rumput.Â
Dari kejauhan masih terdengar sayup langkah gajah yang digiring petugas ke kandang perawatan --- bunyi rantai halus di kaki mereka seperti penanda bahwa hari memang benar-benar berakhir.
Kami duduk di beranda, menikmati teh hangat buatan istri. Lampu-lampu temaram membuat suasana semakin tenang. Anak-anak masih sibuk membuka hasil foto dan video hari itu, tertawa melihat ekspresi masing-masing saat memberi makan gajah. Saya tersenyum kecil --- perjalanan panjang ini ternyata bukan sekadar melihat tempat, tapi juga mengumpulkan potongan kenangan kecil yang akan jadi cerita bertahun-tahun ke depan.
Jalan Pulang: Menyusuri Tanah Transmigrasi yang Indah