Perjalanan:Â
Menapak Jejak di Pusat Kebudayaan Wolio
Setelah perjalanan laut panjang dari Makassar dan semalam menikmati angin Buton di Pelabuhan Tanjung Buton, pagi berikutnya saya melanjutkan langkah ke pusat kebudayaan Wolio.
Tempat ini bukan sekadar lokasi wisata, tapi semacam ruang waktu yang membawa kita mundur ke masa ketika Buton masih berdiri sebagai kerajaan yang disegani di timur Nusantara.
Perjalanan darat menuju kawasan Wolio melewati jalan berliku dan menanjak.
Sepanjang perjalanan, pemandangan khas Buton terasa kuat --- rumah-rumah panggung kayu, anak-anak berlari di tepi jalan, dan udara lembap yang bercampur aroma laut.
Sesekali, dari jendela mobil terlihat laut biru jauh di bawah sana, membingkai pulau ini seperti lukisan hidup.
Begitu tiba di kawasan pusat kebudayaan Wolio, suasana langsung berubah.
Di sini berdiri benteng batu kapur raksasa, mengelilingi kawasan tua yang dulu menjadi jantung Kesultanan Buton.
Benteng ini diklaim sebagai salah satu yang terluas di dunia, dan di dalamnya terdapat sisa-sisa istana, masjid kuno, serta rumah-rumah tradisional yang masih dihuni masyarakat asli Wolio.
Yang paling menarik perhatian saya adalah meriam tua yang berdiri di atas benteng.
Besi tuanya sudah berkarat dimakan waktu, tapi posisinya masih tegak, seolah masih siap menjaga negeri ini dari serangan yang tak pernah datang lagi.
Dari atas benteng tempat meriam itu berada, pemandangan Kota Bau-Bau terlihat jelas --- laut biru, atap rumah berwarna-warni, dan kapal-kapal kecil yang bersandar di kejauhan.
Saya berdiri cukup lama di sana.
Angin kencang berhembus dari arah laut, membawa aroma garam dan suara ayam dari kampung bawah.
Dalam hati, saya membayangkan masa lalu Buton yang megah --- ketika sultan, para prajurit, dan rakyatnya hidup di balik tembok batu ini.
Sebuah masa yang mungkin sudah jauh, tapi masih terasa napasnya di setiap batu dan lorong sempit di dalam kompleks Wolio.
Beberapa warga lokal yang saya temui bercerita, di dalam kawasan ini ada banyak simbol dan peninggalan yang masih dijaga.
Mulai dari Masjid Agung Keraton Buton, hingga balai tempat sultan dulu menerima tamu.
Kehidupan di dalamnya berjalan seperti biasa, tapi setiap langkah di sini serasa berjalan di atas sejarah.
Menjelang siang, saya duduk di tepi benteng, dekat meriam yang sudah mulai hangat karena matahari.
Dari sini saya melihat laut lepas di kejauhan --- arah yang sama dari mana saya datang kemarin.
Rasanya seperti sebuah lingkaran waktu yang sempurna: laut yang membawa saya ke Buton, kini saya pandangi lagi dari tanah sejarah yang pernah dijaga olehnya.