Sore di Martapura: Jejak Intan, Soto Banjar, dan Ziarah Hati
Catatan Perjalanan
Sore itu matahari mulai condong ke barat, sinarnya menembus sela pohon di tepi jalan menuju Lapangan Prasasti Intan. Dari arah Banjarbaru kami berkendara pelan, udara hangat tapi tidak menyengat. Martapura menyambut dengan wajah ramah --- kota kecil yang menyimpan banyak kisah, dari sejarah kerajaan hingga cahaya iman para ulama besar.
Di pinggir jalan, papan kecil bertuliskan "Lapangan Prasasti Intan" menjadi penanda arah menuju situs bersejarah itu. Lokasinya tidak begitu jauh dari pusat kota, tapi suasananya tenang dan teduh. Di sinilah, katanya, ditemukan prasasti kuno yang menjadi bukti awal berkembangnya kerajaan-kerajaan tua di Kalimantan Selatan, salah satunya Kerajaan Tanjungpura yang disebut dalam catatan sejarah Banjar.
Batu prasasti itu berdiri sederhana di tengah taman kecil. Di sekelilingnya, daun-daun kering berguguran pelan tertiup angin. Kami berhenti cukup lama di sana, membaca keterangan singkat di papan informasi. Rasanya seperti menyentuh masa lalu --- jejak lama yang membentuk siapa kita hari ini.
Tak jauh dari situ, aroma sedap soto Banjar menggoda dari sebuah warung di tepi jalan. Kami memutuskan mampir, sekalian melepas lelah perjalanan.
Semangkuk soto Banjar hangat tersaji di depan kami: potongan lontong lembut, suwiran ayam kampung, taburan bawang goreng, dan aroma kayu manis yang khas. Kuahnya bening tapi kaya rasa --- seperti racikan tangan-tangan Banjar yang penuh cinta. Di atas perahu kecil yang kami jadikan tempat duduk, kami makan sambil memandang langit yang mulai berubah jingga.
Istri saya tersenyum sambil menyesap kuahnya pelan, "Soto Banjar itu seperti rumah, ya --- hangat dan menenangkan."
Saya hanya mengangguk. Setiap sendoknya memang seperti menyimpan cerita: dari dapur-dapur ibu, dari warung tua di tepi sungai, dari hati yang ingin memberi.
Menjelang magrib, kami melanjutkan perjalanan ke Sekumpul, tempat di mana bersemayam ulama besar yang sangat dihormati, Guru Sekumpul --- KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani.
Jalan menuju sana ramai tapi tertib. Di sepanjang jalan, terlihat banyak peziarah yang berjalan kaki sambil membawa bunga atau air doa. Ketika tiba di area Sekumpul, suasana berubah khusyuk. Lampu-lampu kecil mulai menyala, menambah keheningan yang lembut.