Di tengah pembicaraan soal biaya hidup yang terus melonjak dan gaji yang terasa tak seberapa, banyak orang mengira masalah keuangan hanya soal nominal penghasilan.Â
Padahal, di balik angka-angka itu, ada sesuatu yang jauh lebih menentukan: cara kita berpikir.
Banyak dari kita hidup dalam keyakinan dan pola pikir yang tampak wajar, tapi sebenarnya justru mengunci diri di lingkaran finansial yang sempit.Â
Kita sibuk menyalahkan keadaan, harga barang, atau nasib buruk, tanpa sadar ada pola mental yang bikin dompet tak pernah benar-benar bernapas lega.
Mari kita bahas satu per satu pola pikir yang sering tak disadari tapi membuat keuangan makin berat --- dan kenapa penting sekali untuk mulai mengubahnya.
1. Hanya Fokus Bertahan Hidup, Bukan Berkembang
Banyak orang yang hidup dengan prinsip sederhana: yang penting hari ini bisa makan, bayar kontrakan, beli kuota, dan bertahan hidup.Â
Sekilas ini terdengar realistis dan rendah hati, tapi kalau ditarik lebih jauh, cara berpikir ini justru bisa menjerat kita di posisi yang sama bertahun-tahun.
Masalahnya sederhana: biaya hidup tidak pernah berhenti naik. Harga beras, transportasi, kesehatan --- semuanya bergerak naik setiap tahun.Â
Jadi, ketika kita berhenti pada level "cukup buat hari ini", tanpa berusaha meningkatkan kemampuan finansial, kita sedang menyiapkan diri untuk tertinggal di masa depan.
Lebih berbahaya lagi, mindset bertahan hidup membuat kita kehilangan dorongan untuk tumbuh.Â
Ketika ada peluang untuk ikut pelatihan, belajar skill baru, atau mencoba pekerjaan sampingan, kita menolaknya karena merasa "udah cukup". Akibatnya, potensi untuk memperbaiki kualitas hidup hilang begitu saja.
Padahal, hidup terus berubah. Sekarang mungkin kebutuhan masih kecil karena kita single, tapi suatu hari nanti ada pasangan, anak, atau orang tua yang harus ditanggung.Â
Kalau kita terbiasa berpikir hanya untuk hari ini, kita akan kewalahan begitu tanggung jawab bertambah.
2. Mengandalkan Keberuntungan dan Takdir Tanpa Rencana
"Rezeki sudah ada yang ngatur."
"Enggak usah pusing mikirin duit, nanti juga ada jalannya."
Kalimat seperti ini sering terdengar di obrolan sehari-hari. Keyakinan bahwa Tuhan mengatur rezeki memang benar, tapi sering kali dipahami dengan cara yang pasif.Â
Banyak orang akhirnya berserah tanpa usaha, seolah hidup akan otomatis menyesuaikan.
Masalahnya, kalau kita menyerahkan semuanya pada keberuntungan atau takdir, kita berhenti membuat rencana. Kita malas menabung karena berpikir nanti juga akan cukup.Â
Kita tak punya dana darurat karena yakin akan selalu ada yang menolong. Tapi begitu ada keadaan darurat --- entah sakit, kendaraan rusak, atau kehilangan pekerjaan --- kita kelabakan sendiri.
Akhirnya, solusi tercepat yang muncul adalah utang. Dari pinjol, kartu kredit, atau bahkan teman dekat. Pola ini terus berulang, menciptakan siklus ketergantungan yang sulit diputus.
Padahal, keyakinan spiritual seharusnya menenangkan, bukan meninabobokan. Percaya bahwa rezeki diatur seharusnya dibarengi dengan ikhtiar dan perencanaan yang matang.Â
Sekecil apa pun penghasilan, menyisihkan Rp5.000 atau Rp10.000 per hari adalah bentuk kesiapan. Angka kecil itu mungkin terasa sepele, tapi ketika sesuatu terjadi, kita punya pegangan --- bukannya panik dan berutang lagi.
Rezeki memang sudah diatur, tapi arah hidup kita tetap ditentukan oleh pilihan dan usaha. Tanpa rencana, kita menyerahkan kendali sepenuhnya kepada nasib. Dan itu bukan pasrah, tapi menyerah.
3. Menganggap Utang Sebagai Solusi Sehari-hari
Utang kini terasa seperti bagian dari gaya hidup modern. Pinjol, paylater, dan kartu kredit membuat proses meminjam uang semudah klik di layar ponsel. Akibatnya, banyak orang memandang utang bukan sebagai opsi terakhir, tapi sebagai solusi harian.
Padahal, setiap utang membawa konsekuensi jangka panjang. Kalau penghasilan terbatas, setiap cicilan dan bunga yang harus dibayar akan jadi beban yang menekan.Â
Gaji habis setengahnya untuk bayar cicilan, sisanya untuk makan dan transportasi --- lalu kapan bisa menabung?
Yang lebih berbahaya lagi, banyak utang dipakai bukan untuk kebutuhan mendesak, tapi untuk gaya hidup.Â
Membeli gadget baru agar terlihat update, nongkrong di kafe pakai paylater, atau belanja impulsif di marketplace karena diskon.
Tanpa disadari, bunga utang terus menumpuk, membuat kita kehilangan kesempatan untuk menabung atau berinvestasi. Uang yang seharusnya bisa tumbuh malah bocor untuk membayar bunga.
Coba bayangkan: kalau setiap bulan kita bayar bunga Rp200.000 ke pinjol, dalam setahun kita sudah kehilangan Rp2,4 juta.Â
Uang sebanyak itu sebenarnya cukup untuk mulai investasi kecil di reksa dana atau punya dana darurat sederhana.
Jadi, persoalannya bukan hanya utang itu sendiri, tapi efek domino yang ditimbulkannya. Semakin sering kita menormalkan utang, semakin sempit ruang untuk berkembang.Â
Kita tidak sedang menolong diri sendiri --- kita sedang memindahkan masa depan ke tangan pemberi pinjaman.
4. Menunda Belajar Soal Keuangan
Banyak orang menunda belajar soal keuangan dengan alasan penghasilan belum cukup. "Ngapain mikirin investasi, gaji aja pas-pasan." Padahal justru di situlah letak kesalahannya.
Belajar mengelola uang bukan sesuatu yang dilakukan setelah kaya, tapi justru prasyarat untuk menuju ke sana. Kalau kita tidak tahu cara mengatur uang kecil, kita juga tidak akan mampu mengelola uang besar.
Masalahnya, kebanyakan orang baru belajar setelah krisis datang. Baru mencari tahu tentang dana darurat setelah kena musibah.Â
Baru paham pentingnya asuransi setelah jatuh sakit. Baru sadar perlunya catatan pengeluaran setelah utang menumpuk.
Padahal akses informasi sekarang begitu mudah. Ada ribuan artikel, video, dan kursus daring gratis tentang cara mengelola uang, menabung, dan berinvestasi.Â
Tapi hambatan terbesar bukan lagi kurangnya akses --- melainkan rasa malas dan anggapan bahwa hal itu belum penting.
Masalah keuangan datang tanpa undangan. Semakin lama kita menunda belajar, semakin besar peluang kita untuk panik ketika masalah itu datang.Â
Tapi kalau kita mulai sekarang, sekecil apa pun langkahnya, efeknya bisa sangat terasa.Â
Kita jadi tahu bagaimana membedakan kebutuhan dan keinginan, cara membuat rencana tabungan, dan bagaimana uang bisa bekerja untuk kita.
Belajar keuangan bukan cuma soal angka, tapi soal membentuk kebiasaan baru. Dan kebiasaan itu yang kelak menjadi pelindung utama ketika badai finansial datang.
5. Takut Risiko, Hanya Ingin Aman
Banyak orang yang memilih "main aman" dalam hal uang. Simpan di tabungan, atau bahkan di rumah, karena takut rugi kalau berinvestasi.Â
Sekilas terdengar bijak, tapi sebenarnya diam-diam keputusan ini juga berisiko --- risiko kehilangan nilai uang karena inflasi.
Kita semua tahu, harga barang selalu naik. Nilai Rp10.000 sepuluh tahun lalu tak lagi setara dengan sekarang.Â
Kalau uang hanya disimpan tanpa berkembang, daya belinya terus menurun. Artinya, meski jumlahnya tetap, nilainya menyusut.
Rasa takut terhadap risiko sering kali berakar dari trauma. Banyak yang pernah mendengar cerita tentang investasi bodong, arisan fiktif, atau penipuan berkedok trading.Â
Akibatnya, kita langsung menggeneralisasi bahwa semua investasi berbahaya.
Padahal, tidak semua risiko berarti bahaya. Ada banyak instrumen investasi yang aman dan legal seperti deposito, emas, atau reksa dana pasar uang.Â
Risiko tetap ada, tapi bisa dikelola. Kuncinya bukan menghindari risiko, melainkan memahami dan mengendalikannya.
Jika kita terus menolak belajar dan hanya fokus pada "yang penting aman", uang kita akan terus kalah oleh inflasi. Kita akan terus berlari mengejar harga barang yang naik tanpa henti.Â
Sementara orang lain yang berani belajar dan mencoba, pelan-pelan menyalip karena uang mereka bekerja --- bukan sekadar disimpan.
Penutup: Mengubah Pola Pikir, Mengubah Arah Hidup
Masalah keuangan sering kali tidak dimulai dari kekurangan uang, tapi dari cara kita berpikir tentang uang.
Pola pikir "asal cukup", pasrah tanpa rencana, menormalkan utang, malas belajar, dan takut risiko --- semua itu adalah jebakan halus yang membuat hidup terasa stagnan.
Kabar baiknya, semua pola pikir itu bisa diubah. Tidak perlu langsung besar.Â
Mulai dari kesadaran kecil: mencatat pengeluaran, menabung meski Rp5.000, membaca satu artikel keuangan per minggu, atau belajar tentang investasi dasar.
Perubahan finansial bukan hasil dari keberuntungan, tapi hasil dari kebiasaan dan pola pikir baru.
Karena pada akhirnya, orang yang mampu bertahan bukanlah mereka yang paling pintar atau paling kaya, tapi mereka yang mau terus belajar dan beradaptasi.
Dan perjalanan menuju kebebasan finansial selalu dimulai dari satu hal sederhana --- keberanian untuk mengubah cara berpikir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI