Saya tinggal di wilayah timur Surabaya, dekat dengan jalur yang seharusnya dilalui OERR. Setiap hari saya merasakan langsung dampak kemacetan karena akses jalan yang sempit dan tidak ada alternatif jalur besar.Â
Bagi kami, warga di kawasan ini, JLLT bukan sekadar proyek pembangunan --- melainkan kebutuhan mendesak untuk kelancaran mobilitas dan ekonomi lokal.
Namun hingga tahun 2025 ini, proyek itu seperti jalan di tempat. Tidak ada kejelasan progres, tidak ada transparansi tentang hambatan, dan yang muncul justru berbagai acara seremonial lain yang tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan warga.
Bagi saya, ini bukan sekadar soal infrastruktur yang tertunda. Ini soal arah kebijakan dan prioritas.Â
Ketika proyek vital yang sudah ditunggu puluhan tahun tak kunjung selesai, sementara energi pemerintah lebih banyak tersita untuk kegiatan simbolik, kita patut bertanya: di mana fokus pembangunan Surabaya sebenarnya?
Pemerintahan Tanpa Visi Jangka Panjang
Saya tidak menutup mata bahwa setiap pemimpin punya gaya dan pendekatan berbeda. Tapi pemimpin daerah juga harus punya visi jangka panjang.Â
Surabaya bukan kota kecil yang bisa dikelola dengan pola acara harian. Kota ini membutuhkan strategi besar --- terutama dalam hal tata ruang, transportasi, dan ekonomi masyarakat.
Ketika Pemkot justru menurunkan target PAD dan mengandalkan utang, artinya tidak ada visi kemandirian fiskal yang jelas. Ini sangat berbahaya.Â
Karena sekali pemerintah daerah nyaman berutang, kebiasaan itu bisa menjadi pola berulang. Setiap kali ada defisit, solusi instannya adalah pinjaman.
Padahal, dengan potensi ekonomi Surabaya --- mulai dari sektor perdagangan, jasa, industri kreatif, hingga pajak daerah --- seharusnya pemerintah bisa menciptakan sistem yang lebih produktif.Â
Banyak aset daerah yang belum dioptimalkan, banyak lahan tidur milik Pemkot yang bisa dikelola secara produktif melalui kerja sama publik-swasta. Tapi semua itu butuh perencanaan matang dan keberanian politik.