Kalau pendapatan daerah tidak digarap dengan serius, sementara utang dijadikan penopang utama, itu bukan strategi pembangunan. Itu tanda kegagalan tata kelola fiskal.Â
Pemerintah kota seolah kehilangan kemampuan untuk menggali potensi pendapatan baru, entah dari pajak daerah, retribusi yang efisien, atau pengelolaan aset yang produktif.
Dari Kota Pembangunan ke Kota Panggung Acara
Sebagai warga Surabaya, saya merasakan perubahan yang sangat mencolok dalam gaya kepemimpinan saat ini. Jika dulu Surabaya identik dengan kerja nyata, kini kota ini terasa lebih sibuk dengan kegiatan seremonial.
Saya sering melihat di media sosial, terutama di akun Instagram Wali Kota Eri Cahyadi, berbagai kegiatan yang lebih banyak berfokus pada peresmian acara, festival, atau pembukaan usaha kecil yang secara dampak ekonomi sebenarnya minim.Â
Misalnya, ketika wali kota hadir untuk meresmikan sebuah minimarket kecil. Saya tidak paham apa substansinya seorang kepala daerah harus memotong pita di acara seperti itu.Â
Tenaga kerja yang terserap mungkin tidak sampai sepuluh orang, dan dampaknya terhadap perekonomian kota hampir tidak terasa.
Bandingkan dengan era Tri Rismaharini yang lebih banyak meninggalkan jejak fisik pembangunan nyata---jalan baru, drainase besar, taman kota, jembatan pedestrian, dan proyek strategis yang secara langsung meningkatkan produktivitas kota.Â
Kini, arah pembangunan tampak bergeser dari substansi ke simbol, dari kerja ke pencitraan.
Surabaya dulu dikenal sebagai kota kerja keras dan disiplin. Tapi kini, saya khawatir, identitas itu mulai memudar karena terlalu banyak energi dihabiskan untuk kegiatan yang lebih bersifat "show" daripada hasil.
Mandeknya Proyek Strategis: Kasus Outer East Ring Road
Salah satu contoh paling nyata dari kemandekan pembangunan adalah proyek Outer East Ring Road (OERR) atau Jalan Lingkar Luar Timur (JLLT). Proyek ini sebenarnya bukan hal baru.Â
Pembahasan dan perencanaan awalnya sudah dimulai sejak tahun 1996. Artinya, hampir tiga dekade sudah berlalu tanpa penyelesaian berarti.