Peribahasa "dikasih hati minta jantung" rasanya pas untuk menggambarkan fenomena yang sayangnya terlalu sering terjadi di sekitar kita.Â
Seseorang yang dulu memohon-mohon saat membutuhkan pinjaman, tiba-tiba menghilang saat waktunya membayar. Bahkan, yang lebih menyakitkan, ada yang justru marah-marah ketika ditagih.
Dalam kondisi seperti ini, bukan hanya uang yang raib, tetapi juga kepercayaan, hubungan baik, dan kadang bahkan nama baik ikut tercoreng. Persahabatan yang sudah dibangun sejak kecil bisa runtuh seketika.Â
Hubungan saudara bisa renggang dan penuh curiga. Maka, tak berlebihan kalau dikatakan bahwa urusan pinjam-meminjam uang bukanlah perkara sepele.
Utang Bukan Hanya Soal Uang, Tapi Juga Soal Moral
Bagi sebagian orang, berutang adalah satu-satunya jalan keluar di tengah kondisi terdesak---entah untuk biaya pengobatan, kebutuhan pendidikan, atau sekadar bertahan hidup.Â
Tapi di sisi lain, bagi yang memberi pinjaman, keputusan untuk membantu juga seringkali lahir dari empati dan rasa tanggung jawab.Â
Maka ketika niat baik ini tidak dibalas dengan komitmen yang sama, wajar jika muncul rasa kecewa yang mendalam.
Sayangnya, masyarakat kita masih banyak yang memandang remeh soal utang. Banyak yang menganggapnya sebagai "bantuan ikhlas", padahal sejak awal disepakati sebagai pinjaman yang harus dikembalikan.Â
Ironisnya lagi, tak sedikit yang merasa lebih berkuasa setelah meminjam, lalu bersikap seolah pemberi utanglah yang sedang butuh, bukan mereka.
Kalau kamu pernah atau sedang berada di posisi ini---sudah memberi pinjaman tapi malah diperlakukan tak pantas---kamu tidak sendiri.Â