Mohon tunggu...
Mirza Adi Prabowo
Mirza Adi Prabowo Mohon Tunggu... Psikolog Klinis

Psikolog klinis dengan minat pada membaca, menulis, fotografi, seni, dan dunia otomotif. Tertarik mengeksplorasi dinamika emosi, relasi manusia, dan proses penyembuhan jiwa. Menulis untuk menjembatani psikologi dengan kehidupan sehari-hari dan menyuarakan sisi humanis dari setiap pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

"Bukan Hari Ini Tapi Suatu Saat Nanti": Luka Psikologis Anak Yang Kehilangan Sosok Orang Tua

15 Agustus 2025   17:19 Diperbarui: 30 Juli 2025   22:26 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

STUDI KASUS (FIKTIF BERBASIS KASUS NYATA)


Namanya NN, usia 16 tahun, disekolah dia dikenal pintar tapi murung. Tidak banyak teman, emosinya mudah meledak, terutama kalau merasa tidak dihargai atau dilupakan. Dalam sesi terapi, perlahan terkuak NN dibesarkan oleh ibu yang single parent, namun sangat sibuk bekerja. Ayahnya pergi sejak ia usia 2 tahun, tanpa kontak sampai hari ini.

Ketika ditanya tentang ayah, NN hanya menjawab:
"Ngapain ingat yang nggak pernah hadir?"

Namun saat dibimbing untuk menulis surat imajiner kepada sang ayah, tangisnya pecah.
"Aku nggak tahu rasanya dipeluk ayah. Tapi aku benci setiap kali teman-temanku cerita tentang ayah mereka."

Luka karena kehilangan sosok itu tidak terlihat, tapi terekam di dalam cara anak memaknai hidup dan relasi.

BAGAIMANA KEHILANGAN ITU MERUSAK SECARA MENTAL?

Psikologi klinis memahami kehilangan figur orang tua (fatherless atau motherless) sebagai bentuk ketimpangan perkembangan emosi dan kepribadian, terutama jika terjadi pada fase usia krusial:
*Anak yang kehilangan ibu cenderung mengalami kesulitan dalam regulasi emosi, rasa percaya diri, dan cemas dalam hubungan dekat (attachment anxiety).
*Anak yang kehilangan ayah lebih rentan terhadap impulsifitas, konflik dengan otoritas, dan krisis identitas gender, terutama pada anak laki-laki.
*Kehilangan kedua figur (secara emosional maupun fisik) sering kali menyebabkan gangguan internalisasi (seperti depresi) atau eksternalisasi (perilaku agresif, membangkang, menyakiti diri).

Menurut Psikolog Klinis Dr. Susan Krauss Whitbourne (2019):

"Children may not know what they're missing until they need it. That's the danger of emotionally absent parenting---it doesn't always cause a breakdown, but a delay in collapse."

EFEK JANGKA PANJANG: SEPERTI BOM WAKTU

Kehilangan sosok orang tua membentuk skema atau cetakan bawah sadar dalam otak anak yang terus memengaruhi hidupnya hingga dewasa, antara lain:
1.Ketidakpercayaan pada orang lain.
Anak yang tak merasa 'dicintai' bisa mengembangkan keyakinan bahwa hubungan selalu bersifat sementara atau menyakitkan.
2.Kesulitan dalam mengenali emosi sendiri.
Anak tak belajar menamai dan mengelola perasaannya, sehingga mudah marah, cemas, atau bahkan membeku (emotional numbing).
3.Pengulangan pola luka.
Anak yang kehilangan ayah bisa mencari pasangan yang dingin atau tidak hadir secara emosional. Ini bukan karena ia bodoh, tapi otaknya mengenali luka itu sebagai 'familiar'.

SINYAL-SINYAL ANAK MULAI TERLUKA SECARA MENTAL
*Sering tantrum atau menarik diri
*Punya teman imajiner terlalu kuat atau tak bisa lepas dari boneka tertentu
*Emosi tak stabil: menangis atau marah tanpa sebab jelas
*Meniru pola orang tua yang tidak hadir (contoh: anak laki-laki yang ditinggal ayah bisa jadi dingin dan cuek pada ibunya)
*Sering mengatakan "aku nggak penting" atau "aku capek hidup"

Jangan anggap ini sebagai kenakalan biasa. Bisa jadi, ini adalah sinyal terpendam dari kehilangan emosional yang tidak terungkap.

APA YANG BISA DILAKUKAN ORANG DEWASA DI SEKITAR ANAK?
*Jangan berpura-pura sosok itu tidak ada. Bila ayah atau ibu memang tidak hadir, bantu anak memprosesnya secara jujur namun dengan bahasa usia yang sesuai.
*Jangan menjelek-jelekkan sosok yang tidak hadir. Anak tetap menyimpan "jejak batin" terhadap orang tua biologisnya. Menghujat hanya akan memperparah konflik batin.
*Berikan 'figur pengganti yang sehat' bila memungkinkan. Misalnya, kakek, paman, guru, atau figur dewasa lain yang bisa mengisi kebutuhan relasional anak secara stabil dan konsisten.
*Bangun rutinitas penuh kehangatan. Konsistensi dan pelukan adalah obat yang sangat underrated.

PERAN TERAPI

Banyak anak yang tumbuh tanpa kesadaran bahwa luka masa kecilnya telah membentuk siapa dirinya hari ini. Terapi psikologis bukan hanya soal menyembuhkan luka, tapi juga:
*Mengurai pola pikir yang salah akibat luka masa kecil.
Seperti keyakinan "aku tak layak dicintai" atau "semua orang akan pergi."
*Memberikan pengalaman relasional baru yang sehat.
Dalam relasi terapeutik, anak (atau remaja) bisa merasakan kehadiran yang validatif hal yang mungkin tak pernah ia dapatkan sebelumnya.

LUKA YANG TAK DIWARISKAN

Kehilangan figur orang tua adalah luka yang menyakitkan. Tapi luka itu tidak harus diwariskan. Kita bisa menyembuhkan, memulihkan, dan menutup lingkaran trauma itu sebelum berpindah ke generasi berikutnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun