Masyarakat kita sering kali terjebak dalam kebiasaan membandingkan anak, entah itu dengan saudaranya, teman sekolahnya, atau bahkan anak tetangga. "Lihat, Budi sudah bisa membaca, kenapa kamu belum?" atau "Kakakmu dulu nilainya lebih bagus dari ini." Kalimat-kalimat semacam ini mungkin terdengar sepele bagi orang dewasa, hanya sebagai motivasi agar anak lebih giat. Namun, di balik niat baik tersebut, kita sering mengabaikan luka batin yang dalam dan sulit terobati yang diakibatkan oleh perbandingan ini.Â
Setiap anak adalah pribadi yang unik. Memiliki kecepatan dan cara belajar yang berbeda, serta bakat yang tak bisa disamakan satu sama lain. Ketika kita terus-menerus membandingkan mereka, secara tidak langsung kita mengirim pesan bahwa mereka tidak cukup baik, kurang berharga, atau tidak memenuhi ekspektasi. Hal ini dapat menghancurkan rasa percaya diri, menumbuhkan rasa iri, dan memicu kecemasan. Anak yang terus dibandingkan bisa tumbuh menjadi pribadi yang selalu merasa tidak aman, merasa dirinya gagal, dan takut mencoba hal baru karena khawatir tidak bisa sebaik orang lain.
Luka batin ini tidak terlihat seperti luka fisik, sehingga sering kali terabaikan. Anak mungkin tidak akan langsung mengeluh, tetapi perasaan tidak dihargai ini bisa terbawa hingga mereka dewasa. Mereka bisa kesulitan membangun hubungan yang sehat, memiliki masalah dengan citra diri, dan cenderung menjadi pribadi yang perfeksionis atau sebaliknya, mudah menyerah. Oleh karena itu, sudah saatnya kita sebagai orang tua dan pendidik untuk berhenti membandingkan. Mari kita fokus pada potensi dan kemajuan anak, sekecil apa pun itu. Hargai setiap proses yang mereka jalani dan dukung mereka untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri, bukan menjadi versi kedua dari orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI