Ramadan selalu datang membawa atmosfer yang berbeda. Masjid lebih ramai, jadwal kajian bertebaran, media sosial dipenuhi ajakan ibadah, dan tiba-tiba semua orang berlomba-lomba mengingatkan bahwa bulan ini penuh berkah. Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi, di tengah semangat meningkatkan ibadah, pernahkah kita merasa seakan tertinggal?
Kita melihat orang lain sudah khatam Al-Qur'an berkali-kali, ikut berbagai kajian setiap hari, atau menjalankan ibadah sunnah dengan begitu konsisten. Sementara kita? Mungkin masih berusaha menjaga konsistensi shalat malam, masih tertatih membaca Al-Qur'an, atau bahkan merasa ibadah kita tak sebanding dengan yang lain. Lalu, tanpa sadar, muncul perasaan cemas: Jangan-jangan gue kurang maksimal? Jangan-jangan ibadah gue sia-sia?
Fenomena ini bisa disebut sebagai FOMO ibadah---takut ketinggalan pahala, takut ibadah kita kurang dibanding orang lain. Alih-alih menjalani Ramadan dengan khusyuk, kita justru terjebak dalam perasaan bersalah dan kecemasan. Tapi, apakah memang ibadah harus seperti ini? Apakah Ramadan benar-benar soal siapa yang paling banyak ibadahnya?
Ketika Ibadah Berubah Menjadi Perlombaan
Semangat memperbanyak ibadah memang bagus, tapi jika motivasi utama kita adalah takut kalah, bukan karena kesadaran spiritual, bisa jadi ada yang perlu kita renungkan. Bukankah Ramadan seharusnya menjadi perjalanan pribadi dengan Tuhan? Bukan soal siapa yang paling banyak shalat sunnah atau siapa yang paling sering berbagi kajian di Instagram, tetapi bagaimana kita mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara yang paling tulus dan jujur.
FOMO ibadah ini juga bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Perasaan bersalah yang terus-menerus muncul karena merasa kurang maksimal bisa berubah menjadi tekanan yang menghilangkan esensi ibadah itu sendiri. Akhirnya, bukan ketenangan yang kita dapatkan, melainkan kecemasan yang berkepanjangan.
Puasa: Latihan Kesabaran dan Self-Acceptance
Salah satu pelajaran terbesar dalam Ramadan adalah kesabaran. Tidak hanya dalam menahan lapar dan haus, tapi juga dalam menerima keterbatasan diri. Kita tidak harus menjadi sosok yang sempurna dalam beribadah, kita hanya perlu berproses dengan keikhlasan. Ibadah yang dilakukan dengan ketulusan akan lebih bermakna dibanding ibadah yang dilakukan semata-mata karena ingin terlihat maksimal.
Ramadan juga mengajarkan kita tentang self-acceptance. Bahwa tidak apa-apa jika kita belum bisa seperti orang lain. Tidak apa-apa jika kita masih dalam tahap belajar. Yang penting adalah konsistensi dan niat yang tulus. Setiap orang memiliki perjalanan spiritualnya sendiri, dan tidak ada satu standar mutlak yang harus kita kejar. Allah tidak menilai dari seberapa banyak ibadah yang dilakukan, tetapi dari ketulusan hati kita dalam menjalaninya.
Menemukan Ketenangan di Tengah Ramadan
Jika Ramadan malah membuat kita stres dan cemas, mungkin kita perlu mengubah perspektif. Ramadan bukan ajang perlombaan, tapi momen refleksi dan pendalaman makna spiritual. Daripada sibuk membandingkan diri dengan orang lain, lebih baik kita fokus pada perjalanan spiritual kita sendiri.
Mulailah dengan membuat target yang realistis sesuai dengan kemampuan. Jika sulit khatam Al-Qur'an dalam satu bulan, mungkin bisa dengan membaca beberapa halaman setiap hari dengan pemahaman yang lebih mendalam. Jika belum bisa rutin shalat tahajud setiap malam, bisa dimulai dengan beberapa malam dalam sepekan. Yang terpenting bukan jumlahnya, tapi keikhlasan dalam menjalankannya.
Ramadan, Perjalanan yang Personal
Ramadan bukan tentang siapa yang paling banyak beribadah, tetapi tentang siapa yang paling tulus mendekat kepada-Nya. Jangan sampai kita terlalu sibuk mengejar pahala sampai lupa menikmati ketenangan spiritual yang seharusnya hadir di bulan ini. Beribadahlah dengan hati yang tenang, tanpa terburu-buru atau merasa bersalah karena belum bisa seperti orang lain. Karena pada akhirnya, Ramadan adalah perjalanan yang personal, bukan kompetisi.