Di salah satu sudut Pleret, Bantul, di antara lalu-lalang kendaraan, semalam aku keluar rumah karena ingin sekadar jalan-jalan malam. Saat melewati pinggir jalan, aku melihat ada sedikit cahaya dan asap mengepul dari kejauhan. Rasa penasaran membuatku mendekat. Ternyata, ada seorang bapak berdiri di samping gerobak siomay. Ia sedang membuka tudung kukusan, mengecek dagangannya, sambil menunggu pembeli datang. Namanya Pak Surotin.
Pak Surotin kini telah memasuki usia kepala lima. Wajahnya yang semakin tua yang tak mengurangi hangat senyumnya. Tangannya lincah menyusun potongan siomay, tahu, pare, kol, kentang, dan telur, sebelum menyiramnya dengan saus kacang khas racikan sendiri. Aroma uap dari kukusan dan kacang yang menguar menjadi penanda kehadirannya di sekitar kampung dan pasar. Namun, tak banyak yang tahu, bahwa siomay yang ia jual adalah buah dari sebuah perjuangan panjang, berlapis rindu, dan sarat tekad yang tak pernah padam.
Perjalanan hidup Pak Surotin bermula jauh di lereng pegunungan Wonosobo. Di kota kecil yang sejuk itu, ia pertama kali mengenal dunia usaha dengan berjualan siomay keliling kampung. Dulu belum ada gerobak, hanya sepeda tua dan kotak kayu yang menempel di bagian belakang. Ia mengayuh dari satu dusun ke dusun lain, membunyikan bel sepeda sebagai tanda kehadirannya dan memanggil pembelinya.
Namun, kehidupan tak selamanya damai seperti hawa pegunungan Wonosobo. Ada kebutuhan, ada anak-anak yang tumbuh, dan ada mimpi yang ingin diwujudkan. Sekitar awal tahun 2000-an, Pak Surotin memutuskan hijrah ke Yogyakarta. Kota pelajar ini ia pilih karena diyakini punya potensi pasar lebih luas. Tapi langkah itu bukan tanpa konsekuensi.
"Saya berangkat sendiri ke Jogja. Anak-anak masih kecil. Istri saya tetap di Wonosobo, bantu adik saya lanjutin jualan siomay di sana," kenangnya dengan nada lirih. "Rasanya berat, Mba. Tapi harus jalan terus."
Ia tiba di Jogja sebelum gempa besar tahun 2006. Kala banyak orang justru memilih pergi meninggalkan kota yang hancur, Pak Surotin tetap bertahan. Katanya, tanah rantau ini sudah ia pilih sebagai tempat mengadu nasib, dan ia tidak ingin kembali sebelum cukup bekal untuk keluarganya.
Gerobak siomay yang ia bawa tiap hari menjadi saksi bisu keteguhannya. Hujan, panas, bahkan sepi pembeli tak membuatnya menyerah. Ia menyusuri jalanan kecil, gang sempit, hingga pasar-pasar desa. Kadang, dagangan habis sebelum sore. Kadang pula, sebagian harus dibawa pulang. Tapi tidak sekalipun Pak Surotin mengeluh. Wajahnya selalu ramah menyapa, dengan sapaan lembut dan pertanyaan andalan, "Pedasnya berapa?"
Di balik kesederhanaannya, Pak Surotin adalah tulang punggung keluarga. Meski jauh dari anak dan istri, ia tetap berusaha hadir lewat hasil kerjanya. Sekarang anak-anaknya sudah besar satu bekerja di pabrik, satu lagi masih kuliah. Ia tidak banyak bicara soal pencapaian, tapi dari sinar matanya, jelas terlihat kebanggaan seorang ayah yang telah memberikan segalanya.
"Kalau kangen, ya kangen, Mba," ujarnya sambil tertawa kecil. "Tapi saya percaya, rezeki itu harus dijemput. Selama kaki ini masih kuat, saya akan tetap jualan."
Setiap sebungkus plastik siomay yang ia sajikan bukan hanya sekadar makanan. Ia adalah cerita, perjuangan, dan doa yang dibungkus dalam bumbu kacang hangat. Pembeli tak hanya merasakan kelezatan, tapi juga keikhlasan yang ikut tersaji.