Mohon tunggu...
Dian Minnie
Dian Minnie Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen - Pengacara - Conten Creator - Coppy Writing - Bisnis Owner

Suka bepergian dan menikmati hidup

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Mudik (antara) Silaturahmi dan Ajang Pamer?

10 Juli 2016   19:01 Diperbarui: 11 Juli 2016   10:41 2092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: poskotanews.com

Sepanjang pengamatan saya dalam diam, telah terjadi pergeseran makna terhadap tradisi “MUDIK” Menurut istilah, Mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Kata mudik berasal dari sandi kata Bahasa Jawa ngoko yaitu mulih dilik yang berarti pulang sebentar. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua.

Menjelang Lebaran Idul Fitri kita bisa menyaksikan bagaimana gelombang manusia yang ada di stasiun kereta api atau terminal bus antar kota berlomba-lomba “berjubel-jubel” untuk mendapatkan angkutan kendaraan umum agar bisa mudik serta lebaran di kampung halaman, meski terkadang kerap juga diperlakukan tidak manusiawi sebagai konsumen angkutan umum, serta dijadikan objek.

Seperti hal adanya praktik pencaloan, konsumen tidak mendapat informasi yang benar dan jelas, masalah keamanan dan kenyaman serta keterlambatan jadwal keberangkatan. Di antara mereka tak sedikit mengalami kesulitan mendapat karcis karena kereta api dan bus, kesulitan harus berdiri atau duduk antre selama berjam-jam, kesulitan mendapatkan karcis dengan harga yang wajar karena dinaikan secara berlebihan oleh para awak angkutan umum, yang tidak mengindahkan ketentuan yang berlaku, kesulitan mendapatkan tempat duduk meski sudah membeli karcis. 

Atau berita yang masih hangat kemarin, kemacetan parah yang terjadi di Brebes, Jawa Tengah, Kemacetan parah tersebut mengakibatkan beberapa kendaraan kehabisan BBM dan bahkan kabarnya ada pemudik yang meninggal karena kelelahan dalam perjalanan. Alasan klise yang sering kita dengar ketika pejabat setempat yang berwenang diwawancarai adalah kapasitas jalan yang ada tak mampu menampung lonjakan volume kendaraan.

Besarnya keinginan mereka untuk dapat berlebaran di kampung halaman, maka resiko apapun akan ditempuh agar bisa mudik Lebaran tepat waktunya. Meskipun harus berdesak-desakan dengan penumpang lainnya, bermacet-macetan di jalan raya berbagai cara mereka upayakan untuk bisa tiba di kampung halamannya. 

Namun tradisi mudik lebaran kini tidak lagi sekadar ajang silaturahmi, tetapi sudah menjadi ajang pamer keberhasilan materi. Jika meminjam pemikiran Moslow, orang mudik Lebaran tak lepas secara psiko-sosial karena mereka ingin juga diakui eksistensi-nya. Pada kenyataan bahwa pengakuan itu memang mahal. Kepada tetangga, para orang tua mereka di kampung halaman bisa berbangga lihat aku punya anak pulang. Terlebih ia bisa menunjukkan, "lihat aku sukses di Jakarta."

Mereka yang sukses dan berlimpah materi, memperlihatkan gengsi sebagai ekspresi wah, melampaui mereka yang kalah. Perilaku pamer status sosial tersebut ditandai dengan pamer kendaraan, baju baru lengkap dengan pernak-pernik perhiasan dan lainnya.

Penampilan masyarakat yang mudik dengan memamerkan status sosial itu adalah untuk memperlihatkan kepada keluarga atau pada kalangan kerabat dan masyarakat bahwa status sosial mereka meningkat karena dinilai telah sukses di rantau. Namun ironisnya, justru banyak penampilan mereka yang `kamuflase` atau mengelabui orang ditandai antara lain dengan membawa kendaraan pribadi (kendati dirental), baju baru dan lainnya.

Sebagai contoh, menjelang lebaran usaha persewaan (rental) mobil laris manis. Bahkan ada penyewa yang tiap tahun selalu meminta agar mobil yang disewanya warna catnya tidak diganti, jenis mobil tersebut harus sama. Permintaan sewa mobil dengan persyaratan demikian, katanya, penting untuk mengesankan mereka telah memiliki kendaraan sendiri sekaligus menjaga citra bahwa dirinya sukses di rantau.

Contoh lainnya, yang di rantau justru berbondong-bondong ke bank atau ke kantor pos mengirimkan wesel atau belanja lebaran untuk keluarga di kampung, kendati uang yang dikirim Rp 500 hingga Rp 1 juta. Perilaku ini juga memamerkan bahwa mereka telah sukses di rantau hingga berhasil mengirimkan belanja. Sebaliknya bagi orang di kampung pergi ke kantor pos untuk mengambil kiriman belanja lebaran tentu akan bangga dan menceritakan pada orang lainnya bahwa keluarganya di rantau telah sukses hingga berhasil mengirimkan uang.

Dari beberapa pemaparan diatas tersirat bahwa kebiasaan mudik selama ini lumayan bergeser dari makna awalnya, yakni bersilaturahmi. Adanya perasaan gengsi atau tidak mau kalah dengan kesuksesan yang diraih saudara atau teman di kampung halaman bisa menjadi salah satu pemicu bahwa persepsi mudik selama ini selalu identik dengan ajang pamer kesuksesan, meskipun tentunya masih banyak pula para pemudik lainnya yang memang mudik karena rindu dengan sanak keluarga dan lebih mementingkan silaturahmi daripada sekedar menjadi ajang pamer semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun