Separuh bulan tergelincir dari arah timur. Dibalik lengang dan sorak gemuruh anak anak langit. Kerlip bohlam menyapu pias pijar pijar sinaran. Hatiku mewaru saja.
Lantas... Aku memunguti rona wajahmu. Ia terbaring dalam peluk rindu. Ia rubuh dalam dekap embun yang menyaru. Namun tidak jatuh.Â
Aku menjamu riangmu. Ketika petang mengabadikan rindu. Dan kau duduk mangu di tepi danau. Menghitung saga. Di antara pecah bulir bulir delima yang tertunduk malu.
Hubby...
Sejenak mari kita mengukir indahnya senja. Dengan warna yang selalu berubah. Langit yang tak lagi muda. Kita masih saling setia. Jemari saling menggenggam. Kita masih saling bertatapan mesra.Â
Kau menggenapi kekuranganku. Sementara aku melengkapi kelemahanmu. Kita bersinergi, ya Hubby. Cinta sejati yang sudah diikrarkan. Kau dan aku.
Lihat saja rembulan itu. Jika kau memandanginya dari jarak sejauh ini. Seperti itulah kita. Ketika rembulan itu tak lagi sempurna. Hadir untuk sekedar memberi penerangan. Kita ini ruh ruh bernurani. Insani berbudi. Bisakah menjadi penuntun hati?
Ketika rembulan jatuh di pangkuan. Cahayanya pecah berantakan. Retinaku menuju kepadamu. Di sebuah tempat agung. Dimana kau membacakan kalam kalam Ilahi. Aku mendoakanmu.
Â
27 Mei 2019