Mohon tunggu...
Cathaleya Soffa
Cathaleya Soffa Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga

Bersyukur dan jalani saja hidup ini. Man jadda wa jadaa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tembang-tembang Sumbang

21 April 2019   20:03 Diperbarui: 24 April 2019   09:24 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini seperti biasa langit cerah tanpa suara-suara burung bercericit. Biasanya beberapa waktu lalu di depan rumah, Pakde Jarwo, jam-jam segini sedang memandikan burung-burung piaraannya. Dengan suka cita dia menyemprotkan air lewat kran. Sambil bersiul, tak henti Pakde Jarwo berceloteh. Tentu saja yang menjadi teman celotehnya ya burung-burung itu.

Bisa dibayangkan setiap hari harus mendengarkan Pakde Jarwo 'bernyanyi. Bukan lagu 'tralala trilili, bukan lagunya 'burung kakak tua atau yang ada nada-nada simponinya, akan tetapi obrolan-obrolan konyol. 

Saban hari kegiatannya begitu. Ngobrol ngalor ngidul bersama burung-burungnya. Sampai-sampai para tetangga menjulukinya sebagai 'mbah Jarwo. Tidak tahu asal muasal mengapa ada julukan itu. 

Bersama burung-burungnya, Pakde Jarwo menjadi sosok yang sangat dirindukan, ternyata. Selain dia berhasil menciptakan keceriaan dan kehangatan di lingkungan tempat dia tinggal, Pakde Jarwo berhasil membuat warga sekitarnya nyaman. Jika sehari saja tidak mendengar suaranya, para tetangga akan menanyakan keberadaannya. Mereka akan bertanya-tanya, sakitkah? Bepergian kemanakah?

Memandang burung-burung yang ada di dalam sangkar membuat Pakde Jarwo merasa terhibur. Suara-suara cericit burung-burung piaraannya membuat hatinya bungah. Lengkingan 'si preman, suara merdu 'si galak, kecerewetan 'si nyi seruti bikin telinganya pekak tapi senang. Karena Pakde Jarwo memang hidup sendiri di rumah kecil itu. Tak ada teman dan hiburan selain burung-burung itu. 

Sejak kepindahannya dari kampung halaman beberapa tahun lalu, dia jarang pulang ke kota tempat anak dan istrinya tinggal. Jarak yang jauh dan kecil penghasilannya tak mampu menopanh rasa rindu untuk bertemu dengan keluarga. Pakde Jarwo kesepian. Hanya dengan cara beginilah dia menghibur hati. 

Paling  tidak, jika ada rizki cukup, ia bisa mengirimi anak dan istrinya beberapa rupiah. 

Masih terdengar dengan jelas Pakde Jarwo menyapa burung-burung itu, 'tekukur kur kur kuur. Suara berisiknya sampai terdengar di rumah si Mbok. Namun sudah hampir seminggu, burung-burung itu sudah tidak ada lagi. Jadi suara pengar cit cit cuit di telinga sudah tidak terdengar. 

Ada yang hilang. Dan rasanya sedih. Burung-burung Pakde Jarwo sudah terjual. Maka sejak peristiwa itu, tak ada lagi suara siulan burung-burung bernyanyi atau celoteh renyah Pakde Jarwo. 

Entah apa yang terjadi.

Suasana sekitar rumah Pakde Jarwo menjadi sepi. Suara khasnya pun, besar dan menggeram, seolah hilang ditelan bumi. Hari-hari berlalu. Detik, menit, jam. Dari pagi, siang, sore sampai malam hingga pagi menampakkan cahayanya kembali tak ada suara-suara panggilan 'Panjul atau 'Nyi Seruti atau 'Preman atau entah banyak kali nama burung-burung itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun