Contoh Praktik Pendekatan Cognitif BehavioralÂ
dalam Konseling
Ada sebuah pepatah yang mengatakan, "Kita adalah apa yang kita pikirkan." Ini bukan sekadar ungkapan bijak, melainkan cerminan dari bagaimana cara berpikir kita membentuk kenyataan yang kita jalani. Pendekatan Kognitif Behavioral Therapy (CBT) lahir dari kesadaran bahwa pikiran, perasaan, dan tindakan saling terkait erat. Ketika seseorang terjebak dalam pola pikir negatif, dunianya bisa terasa sempit, sesak, dan seakan tidak ada jalan keluar. Namun, seperti seorang tukang kayu yang dengan sabar membentuk kayu menjadi perabot indah, manusia juga bisa belajar membentuk pikirannya agar lebih sehat dan positif.
Pendekatan CBT bukan tentang menggali masa lalu yang jauh atau mencari penyebab yang mungkin sudah terkubur dalam kenangan, tetapi lebih kepada bagaimana seseorang bisa mengubah caranya berpikir hari ini untuk masa depan yang lebih baik. Ibarat seorang pengemudi yang memahami pentingnya mengganti rute saat jalanan macet, CBT mengajarkan kita untuk mengenali pola pikir yang buntu dan mencari jalan lain yang lebih lapang. Konseling berbasis CBT bukan sekadar teori, tetapi sebuah praktik yang membumi, dengan tujuan jelas dan langkah-langkah konkret yang membantu individu keluar dari belenggu pikirannya sendiri.
Contoh KasusÂ
Siti, seorang siswi SMA kelas 11, sering merasa cemas berlebihan ketika harus berbicara di depan kelas. Setiap kali guru meminta presentasi, ia langsung merasa jantungnya berdebar, keringat dingin mengucur, dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran seperti "Aku pasti akan salah bicara," atau "Teman-teman pasti menertawakanku." Karena ketakutan ini, Siti sering mencari alasan untuk menghindari presentasi, bahkan kadang-kadang pura-pura sakit agar tidak masuk sekolah.
Dalam sesi CBT, ibu guru sebagai konselor membantu Siti mengidentifikasi bahwa pikiran-pikiran negatifnya adalah bentuk distorsi kognitif yang disebut catastrophizing (melebih-lebihkan kemungkinan buruk yang akan terjadi). Ibu guru mengajaknya untuk menantang keyakinan tersebut dengan mencari bukti nyata: Apakah benar semua orang akan menertawakannya? Apakah pernah ada kejadian di mana ia benar-benar dihina saat berbicara? Siti juga diajarkan teknik relaksasi pernapasan dan latihan eksposur bertahap, di mana ia mulai berbicara dalam kelompok kecil sebelum akhirnya berani berbicara di depan kelas. Dengan latihan rutin dan perubahan cara berpikir, kecemasan Siti perlahan berkurang, dan ia merasa lebih percaya diri saat berbicara di depan orang lain.
Tahapan dalam Praktik Konseling CBT
Membangun Hubungan dan Identifikasi Masalah
Konselor: "Siti, terima kasih sudah datang. Ibu ingin mendengar lebih banyak tentang apa yang membuatmu cemas saat berbicara di depan kelas. Bisa kamu ceritakan?"
Siti: "Saya takut sekali, Bu. Setiap kali berdiri di depan kelas, saya merasa semua mata tertuju pada saya dan mereka pasti sedang menertawakan saya di dalam hati."