Malam gelap gulita. Cahaya rembulan memucat. Kerlap kerlip bintang pun enggan terlihat. Langit kusut masai. Erangan wanita muda itu gemakan malam. Rambutnya tergerai. Hujan deras yang membanjiri bumi lelapkan para penghuni. Mareka asyik berselimut hindri rasadingin yang datang menyerang.
Dikejauhan malam, sebuah gubug terlihat bergoyang. Angin malam yang kencang seolah-olah ingin merobohkan gubug reot di pematang sawah. Didalamnya dua manusia berbeda kelamin terus susuri malam dengan gejolak manusia. Hantarkan dinginnya malam dengan saling bersekutu. Malam itu mareka jadikan sebagai simbol kegelapan. Sebagai rumah kegelapan. Mareka saling memberi jiwa raga dengan disertai desahan. Rintihan terus bergemuruh sebagai ornamen malam. Dan hujan pun reda usai membanjiri bumi.
"Aku akan bertanggungjawab," ujar lelaki itu sambil menyalakan sebatang rokok. Keringat masih mengucuri sekujur badannya. Terlihat rasa kelelahan dalam wajahnya. Seolah-olah usai kerja keras.
"Kamu memang harus bertanggungjawab," ujar wanita itu sambil berbenah. Langit semakin gelap. Dengus kucing hutan menambah kegairahan malam yang makin mempesona.
Lelaki muda itu seolah tak percaya. Bagaikan dihantam petir yang mulai merambah dunia. Rasa malunya sebagai lelaki mengaliri sekujur tubuhnya. Keringat mengucur ditubuhnya. Rasa tanggungjawab yang dia katakan malam itu sebagai lelaki sejati ditolak.
"Mohon maaf. Kami sekeluarga anda. Anda tak layak menyunting putri kami," ujar seorang lelaki setengah baya saat lelaki itu menyampaikan rasa tanggungjawabnya.
"Kami telah menjalin raga,Pak. Kami telah menuntaskan hasrat sebagai manusia. Dan sebagai lelaki saya bertanggungjawab," ujar lelaki itu.
"Sekali lagi saya, saya mewakili keluarga besar yang terhormat ini menolak anda. Dan silahkan anda cari wanita lain," jawab pria itu.
"Dan saya mohon anada segera tinggalkan rumah ini," sambung lelaki lain yang hadir dalam pertemuan itu dengan narasi mengusir. Dengan tertunduk malu, lelaki muda itu pun segera meninggalkan rumah tua itu.
Lelaki muda itu patah arang. Jiwanya terkoyak-koyak. Kelaki-lakiannya seolah-olah terpotong. Rasa dendan memuncrat dalam otak besarnya. Balas dendam menghantui hari-harinya.
"Kamu jangan bertindak bodoh,bro. Menyakiti hati seorang wanita yang begitu mencintaimu sama saja engkau menghianati kasih sayang Ibumu sebagai perempuan," nasehat temannya.