Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Perempuan Sunyi

4 Desember 2021   09:03 Diperbarui: 5 Desember 2021   00:33 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesumringahan membalut wajah  cantik Mbak Lola saat  menyambut kehadiran tamunya. Sebuah ciuman mendarat di pipi kanan dan kiri lelaki setengah baya itu dari Mbak Lola. Keduanya pun langsung masuk ke dalam rumah dengan saling berpelukan.

Sementara, suami Mbak Lola tampak gusar dengan kehadiran tamu itu. Wajahnya tak bersahabat. Ada kesan perlawanan. Tapi apa daya. Tak mungkin diatas kursi roda itu dirinya mampu melawan lelaki setengah baya yang masih tampak gagah itu masuk ke dalam kamar istrinya.
" Dasar wanita terkutuk," teriak suami Mbak Lola

Teriakan suaminya tak menyurutkan langkah Mbak Lola masuk ke dalam kamarnya bersama sang tamu. Sang suami hanya bengong menyaksikan adegan itu. Dari dalam kamar terdengar suara derit goncangan ranjang dan suara desahan istrinya. Lelaki tua itu hanya terpejam mendengar suara lenguhan istrinya yang menyapa kuping tuanya. Airmatanya menetes membasahi ubin rumah mereka.

Di dalam kamar, Mbak Lola asyik memacu syahwatinya bersama lelaki yang sering dikatakannya sebagai tamu suaminya. Tamu suaminya tampaknya mampu menebarkan air kebahagian di jiwanya yang kering kerontang. Air kebahagian yang mampu memuaskan jiwa dan rohaninya sebagai wanita dewasa. Ada rasa bahagia yang muncrat dari wajah cantik Mbak Lola.
Sementara sang tamunya tampak sumringah atas pelayanan Mbak Lola di peraduan. Ada rasa kenikmatan yang belum pernah dirasakannya selama ini.
" Terima kasih, Jeng. Aksimu malam ini sangat hebat dan memuaskan aku. Dan aku akan kembali lagi minggu depan," ujar sang tamu dengan nada gembira.

Mbak Lola tersipu dengan pujian dari lelaki itu. Sebuah ciuman didaratkannya di kening lelaki itu Segepok uang lembaran seratus ribu dititipkan lelaki itu diatas ranjang yang masih kusut spereinya. Tepat diatas noda yang masih basah.

Sudah hampir tiga minggu tak ada kunjungan tamu ke rumah Mbak Lola. Ada rasa kegelisahan di nurani wanita itu. Seribu tanya menggelayut dalam jiwanya yang kering kerontang dimakan usia. Sementara uang dalam dompetnya mulai menipis. Tadi siang saja, untuk membeli beras, dirinya harus mengutang dulu kepada Wak Jon, pemilik warung langganannya.

Wanita setengah tua itu terus melangkah dengan langkah kaki bergegas menembus malam yang makin pekat. Jalannya tergesa-gesa. Bak koruptor yang ingin menghindari dari jepretan para fotografer. Langkah Mbak Lola terhenti seketika,  saat terdengar  klakson mobil berbunyi diujung jalanan Kampung yang mulai mulus.

Dari dalam mobil tampak seorang lelaki yang dikenalnya tersenyum seolah memberikan kode tertentu. Mbak Lola pun tersenyum. Ada rasa bahagia yang mengalir dalam sekujur tubuhnya yang mulai menua. Keduanya pun menembus malam yang pekat dengan kepekatan jiwa yang berselimutkan syahwati.

Wajah cantik Mbak Lola tampak lusuh. Tak ada lagi guratan kebahagian yang selama ini menjadi ciri khasnya sebagai seorang wanita. Tak ada lagi. hanya sebuah penyesalan yang kini muncrat dalam aliran nuraninya yang kelam. Setidaknya, usai pulang dari Puskesmas tadi pagi, wanita setengah tua itu dilanda perang batin yang amat menggurita dalam jiwanya. Bagiamana tidak. Vonis dirinya mengidap penyakit HIV membuatnya terkulai.

"Berdasarkan pengecekan sample darah dari laboratorium kami, Ibu mengidap penyakit HIV," terang Dokter Puskesmas.
Mbak Lola pun terkaget-kaget mendengar penjelasan dokter. Jantungnya hampir copot. Kakinya gemeteran. Hampir copot dari engsel pergelangan kakinya.
" Ha ! Betul Dokter? Apa tidak salah?," tanya Mbak Lola dengan nada setengah berteriak diliputi wajah setengah tidak percaya atas penjelasan dokter.
" Tidak Bu. Kami tidak salah. Itu hasil test dari laboratorium," ujar sang Dokter.

Wanita setengah baya itu hanya bisa menatapi hari dengan rasa berdosa yang tak terperikankan. Rasa berdosa kepada suaminya yang dibiarkannya bak seonggok patung hiasan rumah. Rasa bersalah atas segala perbuatannya. Dan rasa bersalah kepada semua penghuni Kampung yang telah dibohonginya bertahun-tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun