Kini setiap hari hanya muncul rasa bersalah dalam jiwanya. Rasa penyesalan itu terus mengkristal dalam nuraninya. Dan kini hanya airmata yang menetes dari dua bola matanya yang menjadi teman abadinya. Airmata yang hanya menghiasi ubin rumah kontrakannya yang mulai menghitam, sehitam jiwanya yang mati.
Lelaki itu tersentak ketika sebuah ketukan datang dari arah pintu depan rumahnya. Tergopoh-gopoh dia menuju pintu. Siapa tahu ada tetangga yang berbaik hati untuk menghantarkannya sepiring nasi. Dan betapa kagetnya lelaki itu saat pintu terbuka seorang wanita cantik yang amat di kenalnya muncul.
" Mama," serunya dengan nada suara amatberbalut kekagetan dan pelan.
" Mari pulang Mas. Anak-anak menunggumu," sapa wanita cantik itu yang ternyata istinya.
" Aku malu dengan anak-anak. Aku malu. Â Aku seorang bapak yang berdosa kepada mereka," desis lelaki itu.
" Aku yakin mareka paham dan memaafkan Bapaknya yang tersesat," ujar istrinya.
Lelaki dan istrinya tiba di Kampung, saat azan subuh berkumandang dengan syahdunya mereligiuskan alam raya. Sapaan akrab dari beberapa warga yang hendak menuju masjid yang ditemuinya sepanjang jalan menuju rumah, membuatnya sadar bahwa jalannya mulai terang seterang mentari yang telah terbangun dari mimpi panjang untuk segera menyinari penghuni alam dengan ikhlas. Seikhlas istri dan anak-anaknya untuk menerima dirinya kembali dalam ruang kehidupan usai dirinya tersesat lewat sesendok madu macan yang kini tak mengaum lagi bahkan telah lama dilupakannya.
Toboali, jumat barokah, 8 Oktober 2021
Salam sehat dari Toboali