Cerpen : Naomi
Ketika usia perkawinan kami memasuki tahun ketiga, kami baru dikaruniai anak pertama. Kegirangan melanda seluruh keluarga, ketika istri mengabarkan bahwa dirinya positif hamil. Ibu dan Ayah kami sangat bahagia mendengar berita bahagia itu. Apalagi mertua saya. Maklum ini adalah cucu pertama bagi mareka.
"Alhamdulillah, akhirnya istrimu hamil. Kamu harus banyak bersykur dan mengucapan terima kasih kepada Allah. Dan bilang dengan istrimu. Jaga kesehatan dirinya dan jabang bayinya," nasehat Ibu lewat telepon.
" Iya Bu. Akan aku sampaikan kepadanya. Dan aku juga akan selalu menjaganya," jawabku.
Senada dengan Ibu, mertua juga mengingatkan kami agar kondisi istri dan  jabang bayi ini dijaga dengan benar.
" Bilang ke istrimu agar dia menjaga kesehatan dan pola makannya. Jangan sampai makan seenak perutnya. Kamu kan tahu gaya makan istrimu yang sembrono. Kamu harus selalu mengingatnya," pesan mertua.
Kegembiraan juga melanda adik-adik kami. Mareka bahagia karena tidak lama lagi mareka akan mendapat ponakan. Tak heran diantara ada yang memprediksi bahwa bayinya perempuan.Â
Maklum keluarga kami kebanyakan adalah perempuan semua. Hanya aku dan adik ke enam yang berkelamin laki-laki. Sementara lima lainnya berkelamin perempuan.
" Semoga kakak melahirkan seorang anak perempuan, biar kami bisa bermain bersama," harap adikku yang paling bontot.
" Kalau aku berdoa semoga kakak dikarunia anak lelaki biar ada yang menjaga kita," harap adikku yang lain.
Hari yang dinantikan pun tiba. Istriku melahirkan di tanah kelahirannya. Â Melahirkan di sebuah klinik bersalin yang didirikan oleh seorang bidan sebuah perusahaan yang kini telah pensiun dini.Â
Aku masih ingat saat itu sekitar jam lima sore disaat senja mulai hendak keperaduannya, istriku merasakan sesuatu yang aneh diperutnya. Ada rasa mulas yang melanda perutnya.