Cerpen : Kampung Awer
Beberapa hari ini, malam di Kampung kami berubah menjadi sangat mencekam. Matahari selalu pamit dengan rasa waspada yang tak tertahankan. Para pemuda Kampung tak lagi berkumpul sambil memetik gitar dan melewati malam dengan bernyanyi mengiringi cahaya rembulan malam. Saat gelap tiba, pintu-pintu setiap rumah dikunci dengan rapat, juga jendela. Semuanya berubah.
Ya, semuanya berbah semenjak, warga kampung Kami satu per satu dipanggil Izrail. setiap hari selalu ada saja warga yang wafat. Dan ketika corong pengeras suara dari masjid terdengar, degup jantung para warga Kampung mulai berdetak tak beraturan. Siapakah warga kampung yang meninggal selalu terdengar dari desis mulut mereka.
Sebagai pimpinan kampung, Pak Lurah terlihat sangat bersedih. Sebagai pemimpin yang dipilih warga kampung dengan ikhlas, Pak Lurah merasa terbebani dengan kondisi yang terjadi di wilayahnya.Â
" Seumur-umur, saya tinggal di Kampung ini, baru kali ini saya melihat dan menyaksikan kematian warga kampung yang bertubi-tubi ini. Ini sutau kondisi yang tak lazim," ungkap Pak Lurah saat bertemu para tokoh agama dan tokoh masyarakat kampung di  Kantornya.
" Apakah ini ini bukan awer, Pak Lurah?," ucap seorang tokoh masyarakat kampung.
Pak Lurah kaget setengah mati mendengar narasi awer.Â
Ya, awer adalah semacam musim datangnya sebuah wabah yang menimbulkan penyakit dimana menurut cerita kuno dari para pendahulu Kampung selalu menyerang  Kampung Kami pada masa tertentu. Kadang durasinya 10 tahunan sekali. Kadang dua puluhtahunan sekali. Tak menentu.Â
" Mungkinkah Kampung kita diserang awer sebagaimana cerita para nenek moyang kita dahulu?," tanya Pak Lurah.
" Bisa saja Pak Lurah," sahut tokoh kampung.