"Saya tidak tersinggung dengan omongan Bapak. Sama sekali tak tersinggung. Ini adalah takdir saya dari Allah. Saya akan terus menjadi kuli panggul di pasar ini. Inilah garis tangan hidup saya. Ilmu sesat yang selama ini saya geluti, membuat saya tak boleh menikah seumur hidup sebagai syaratnya," ujarnya dengan wajah senyum. Jawaban Pak tua itu membuatku kaget. Sangat kaget.
Aku terkejut. Seorang Bapak tua membungkuk dihadapanku. Tangannya menyentuh pundakku.Â
" Bapak ketiduran. Pulanglah. Hari sudah malam," ujarnya sambil menunjuk ke arah jam yang menempel di tembok masjid.
" Terima kasih, Pak sudah membangunkan aku,'jawabku.
Aku segera memulihkan kesadaranku. Pandangan ku edar ke segala ruangan di masjid ini. Aku menyandarkan kepala ke dinding masjid. Aku tertidur di masjid usai sholat Isya tadi. Lalu kemana Bapak tua tadi? Kembali mata ku edarkan ke segala penjuru masjid. Tak ada siapa-siapa. Sepi.
Aku baru saja merapatkan punggung ke lantai. Tiba-tiba suara ponselku berdering. Kulihat nama Bapak muncul dilayar handphoneku. Jantungku berdegub dengan kencangnya. Tiba-tiba rasa cemas mengaliri sekujur tubuhku. Handpohe segera kuangkat. Aku belum selesai mengucapkan assalamualaikum, suara tangisan terdengar di seberang sana.
" Koneng. Bapakmu sakit keras. Segeralah pulang," ujar suara Pamanku.
Aku mengigit bibirku dengan kuat. Aku berusaha menahan tangisan yang ku pendam.Â
" Kemarin Bapak bilang sakitnya sudah lumayan, Paman," ujarku.
" Segeralah kamu pulang," kata Paman .
Sudah puluhan tahun, Bapak menderita sakit. Tepatnya semenjak aku tamat SMA. Orang kampung menyebut Bapak terkena guna-guna. Sejujurnya, aku tak percaya sama sekali dengan omongan orang Kampung. Ini zaman moderen.Â