Cerpen : Lelaki Pemegang Ajian
Siapa sosok wanita yang paling dirinduinya? Maka jawaban yang keluar dari mulut Wanhat adalah Rose. Perempuan kampung yang selalu membuatnya bahagia. Seorang perempuan sederhana yang selalu membuatnya riang gembira setiap hari, meski pun kadang mereka hanya menikmati makanan siang dan malam ala kadarnya.
" Aku sangat bahagia bersamamu," ungkap Rose pada suatu malam. Wanhat hanya terdiam. Dalam hatinya ada rasa bersalah yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
" Aku akan berusaha membahagiakanmu. Aku akan merantau ke Kota," jawab Wanhat dengan suara lirih.
Kini, Wanhat hanya bisa membekap rindu dengan segala kegelisahannya. Lelaki itu terlunta-lunta di Kota yang ganas ini. Ijazahnya belum tergunakan dengan baik. Semua lamaran yang diantarkannya ke perusahaan belum ada yang tembus.  Sebuah Kota yang tak mengenal rasa kasihan. Dimana senuah tata kehidupan yang tak mengenal moral. Dan dia harus siap menghadapinya. Untuk pulang, dia sangat malu. Sebagai lelaki jantan, pantang ber[ulang ke rumah kalau belum bisa membeli apa yang diidamkan istrinya.
" Istri yang baik tak banyak menuntut ini dan itu. Kita pulang ke rumah saja, dia sudah bahagia," kata seorang temannya.Â
Wanhat menelan ludah. Tak ada jawaban dari mulutnya. Dia hanya terdiam. memandang alam sekitar dengan rasa yang amat merindu. Tabiat rindu memang kadang keras. Wanhat menarik sebatang rokok dari bungkusnya yang sudah sedemikian tipisnya. Diselipnya di bibirnya. Lalu membakarnya. Asap mengepul dari hidungnya. membentuk kepulan bak pulau-pulau. lalu menyeruput kopi yang dibikinkan pemilik warung.
Wanhat masih ingat dan masih ingat perdebatan antara istrinya dengan keluarganya, saat dia menerima pinangan Wanhat. Tak ada satu pun keluarga istrinya yang mendukungnya. Hanya Kakek istrinya yang mendukung.
" Seorang manusia yang pernah  melakukan sebuah kesalahan adalah sesuatu yang wajar. Manusia bukan malaikat. Dan aku sebagai orang tua sangat percaya, naluri kewanitaan anakmu sangat tajam dalam memilih calon suami," ujar Sang Kakek. Semua keluarga istrinya terdiam. Membisu mendengar omongan Sang Kakek.
" Dan kita tak perlu mendengar suara orang di luar sana. Yang perlu kalian dengar adalah suara hati anakmu yang akan menjalani kehidupan bersama calon suaminya," lanjut Sang Kakek. Kembali semua keluarga besar istrinya terdiam.Â
" Luarbiasa pengorbananmu, Rose," desisnya.