Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Penjelajah Masa Lalu (Episode 8, Candi Laut Selatan)

11 Oktober 2019   15:42 Diperbarui: 11 Oktober 2019   15:49 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya

Wajah Dewi yang cantik kelihatan sangat pucat. Matanya kosong dan gestur tubuhnya memperlihatkan ketidakberdayaan total.

"Sadarkan dia," Sang Ratu memberi isyarat kepada si pemimpin yang lalu mengusap muka Dewi sambil mengucapkan mantra-mantra dengan lirih.

Ada kilatan sejenak di bola mata Dewi. Jika tadi nampak begitu kosong, sekarang sorot mata itu penuh dengan kebingungan dan ketakutan. Dia berada di lingkaran para perempuan berpakaian aneh serba hijau ini seperti pesakitan yang bersiap-siap menerima hukuman.

Ah! Tapi dia sendiri juga berpakaian aneh! Serba merah, mewah, tapi bergaya tradisonal serta kuno. Dewi mencoba mengerahkan ingatan. Satu-satunya yang dia ingat adalah dia bersama ketiga kawan lelakinya berada di sebuah gua. Lalu semua memorinya tak bisa dilacak seolah dirampas paksa.

Sekarang dia di mana? Siapa perempuan-perempuan cantik dan dingin ini? Dan itu, wanita cantik luar biasa bermahkota yang sedang duduk di singgasana, siapa dia?

Dewi terpaksa memutus konsentrasinya karena si pemimpin membimbing tangan dengan setengah paksa agar maju mendekat ke arah Sang Ratu.

"Siapa namamu?" suara itu sangat lembut tapi mampu meremangkan semua bulu di tubuh Dewi.

"De...dewi," Dewi menjawab terbata-bata. Entah kenapa, rasanya semua keberanian dan kekuatan di dirinya moksa.

"Kau adalah yang terpilih. Maukah kau secara sukarela menjalani takdirmu?" suara lembut itu seperti ribuan lebah memasuki gendang telinga Dewi.

"Tak..dir..ter..pilih?...saya tidak mengerti," Dewi menguatkan diri bertanya. Kepalanya terasa begitu berat meskipun pikirannya tetap normal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun