Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menonton Film

11 Juli 2019   06:38 Diperbarui: 11 Juli 2019   06:55 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film yang selalu berhasil mematahkan hati adalah ketika jagoannya kalah lalu mati. Karena itulah saya selalu membaca terlebih dahulu resensi. Saya tak mau patah hati di ruang gelap, sendirian, dan sudah pula saya membayarnya selama satu setengah jam. Bukankah ini ironis sekali? Saya membayar hanya untuk patah hati!

Oleh sebab itu, saya hanya mau pergi ke bioskop jika sekeluarnya dari sana lantas saya menjadi bahagia. Kata orang kebahagiaan sulit dicari, saya bilang tidak juga. Pergilah menonton film yang di dalamnya banyak adegan berdansa. Niscaya kita akan ikut menari salsa di kepala. Atau setidaknya menggoyang kepala mengusir penat yang ada.

Suara menggelegar dan menggema sekerasnya di ruang yang terbatas itu sebetulnya terapi bagi saya agar tak mudah kaget saat jatuh cinta, pun juga sekaligus tak gampang shock ketika babak belur karenanya. Jatuh cinta memang tak perlu latihan, tapi putus cinta jelas sekali butuh pengalaman.

Sebelum film dimulai, seringkali saya menghabiskan bekal penganan hingga tak bersisa lagi. Saya selalu mengantisipasi jikalau ternyata resensinya salah dan jagoannya ternyata kalah, maka saya bisa pura-pura tidur tanpa harus memikirkan bekal penganan yang punya kemungkinan tumpah. Intinya saya tetap pada situasi tidak merasa bersalah. Karena hal ini bisa membuat mood saya hancur berantakan. Dan buruknya, saya selalu mencari kambing hitam untuk menutupi kesalahan.

Setelah film usai, saya biasanya tetap duduk hingga nyaris semua orang pergi. Saya ingin bulat-bulat menikmati. Momen inilah yang saya kira sebagai kenangan indah. Jangan sampai segera hilang musnah. Seperti ciuman pertama barangkali. Hanya sekali terjadi, tapi melamunkannya bisa berulangkali.

Jadi, bagi saya, menonton film serupa dengan menayangkan cerita dan membayangkan bahagia. Lalu dibagi pengalaman menyenangkan sekaligus dihampiri kenangan menggembirakan. Dan sesudahnya pulang dengan senyum penuh kemenangan.

Bahagia? Gampang bukan?

Langkat, 11 Juli 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun