Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Mengapa Hujan, Senja, dan Kopi, Mudah Sekali Menjadi Inspirasi dalam Menulis Puisi?

14 Januari 2019   18:18 Diperbarui: 16 Januari 2019   16:34 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak perlu menulis latar belakang seperti biasanya. Tanpa perlu sebuah latar belakang pun, semua juga tahu bahwa hujan, senja dan kopi, selalu membuat terjaga adrenalin seorang penulis. Ini kenyataan. Jangan coba berpaling darinya. Karena memalingkan muka sama saja dengan membuat ilusi yang tak pada tempatnya.

Seperti seorang ahli sihir yang menolak melakukan sihir ketika sedang berada di perjamuan para penyihir.

Coba saja seandainya ada lembaga survey yang mencoba melakukan inventarisasi berapa banyak kata hujan, senja dan kopi, dipergunakan sebagai inspirasi sebuah puisi, saya yakin lembaga survey tersebut akan kewalahan. Mesin hitungnya akan kelabakan. Mata para surveyornya akan perih. Karena matanya terlalu banyak dihujani senja yang meniupkan aroma kopi.  

Berdasarkan pengamatan saya yang semenjana, hujan, senja dan kopi, mempunyai kesamaan dalam faktor ritmis dan magis.

Nah! Tapi saya tegaskan ini bukan acara klenik yang tragis!

Hujan
Sebuah perkara cuaca biasa yang entah mengapa selalu berhasil menyeret pikiran pada hal-hal yang dikenang. Di saat berhadapan dengan hujan, kita seolah disajikan sebuah pertunjukan opera atau drama. Kita menjadi penonton yang tak berkedip mata.

Pada setiap tetesnya seolah terdapat alarm yang membangunkan alam bawah sadar untuk mempersilahkan kita melamun. Pikiran kita lantas dilanun untuk menyeberangi genangan demi genangan apa yang telah dan pernah kita berkecipak di dalamnya.

Kecuali petir yang menimbulkan ketakutan, suara hujan itu mirip lagu. Ritmis dan memukau. Jika anda seorang ahli hipnosis tingkat tinggi, mungkin bisa dicoba hujan sebagai perantara untuk melakukan therapy hipnotis. Saya yakin hujan jauh lebih baik dibanding lingkaran yang berputar-putar, tepuk tangan atau menyuruh tidur dengan paksaan.

Suara hujan yang ritmis akan membawa seseorang yang menikmatinya terhanyut dalam suasana magis. Di seputaran benaknya akan menjelma banyak bayangan yang berdatangan. Mungkin bidadari yang turun dari pelangi, peri yang menari-nari, atau bahkan seorang kekasih yang nun jauh di sana tiba-tiba saja ada di sini.

Lahirlah ribuan gagasan bagaimana menerjemahkan hujan di benak orang yang terhipnotis olehnya.

Senja
di dalam semburatnya yang memanjakan mata, senja mempunyai sebuah senjata mematikan untuk membuat orang terpana, jatuh cinta, lalu tergila-gila. Ya, apalagi kalau bukan warnanya yang begitu mudah menciptakan suasana romantika.  

Bayangkan duduk di pantai. Berduaan dengan kekasih yang dicinta. Saling berdiaman. Tapi mata tertuju ke satu tempat secara bersama-sama. Dalam diam itu pikiran jelas tidak membatu. Berkeliaran lepas seperti hantu. Mendorong gagasan-gagasan yang secara ritmis meramaikan otak kanan dalam keliaran yang magis.

Senja memang magis. Bahkan di banyak petuah orang tua selalu mengatakan bahwa senja adalah gerbang yang terbuka tempat malaikat dan setan sama-sama lewat. Itulah mengapa aura senja begitu besar mempengaruhi otak untuk bekerja ekstra. Terutama dalam menulis sastra.

Kopi
Siapa sih yang tak suka kopi? Ada tentu saja. Dan itu wajar saja. Suka atau tidak suka itu pilihan. Bukan kewajiban maupun kesimpulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun