"Dyah Puspita, aku titipkan anakku kepadamu. Â Bawalah ke ayahmu. Â Mohonkan agar bisa diterima sebagai muridnya. Â Atau paling tidak kacungnya jika beliau tak mau menerima. Â Jika tetap saja tidak diterima. Â Angkatlah sebagai adikmu. Â Rawatlah dia. Â Sebagai gantinya, kau boleh mempelajari buku sakti ini bersama sama. Â Lima belas tahun lagi, di puncak Merapi, naga api akan bangkit dari tidurnya. Â Bawalah Arya kesana. Â Rahasia mengambil mustika api di kepala naga itu adalah; tujuh belas langkah ke depan, delapan lompatan ke samping dan empat puluh lima kali jungkir balik bersamaan. Kau akan mengerti pada saatnya nanti. Â Terimakasih. Aku mempercayaimu".
Dyah Puspita merenungkan kata kunci yang aneh itu sejenak. Â Menggeleng gelengkan kepala. Â Kemudian menghela nafas panjang. Â Dia tahu bahwa setiap 200 tahun Naga Puncak Merapi selalu menampakkan diri. Â Membawa keajaiban unsur alam yang berganti ganti setiap periodenya melalui mustika aneh yang ada di kepalanya. Â Tapi sama sekali tak menduga bahwa dia akan mendapatkan amanat yang luar biasa berat. Â Arya Dahana adalah putra dari Arya Prabu, buronan kerajaan yang paling dicari. Â Kerabat dari Raja Blambangan yang dianggap sebagai ancaman terbesar Kerajaan Majapahit dari timur. Â Bahkan sekarang ada pula di tangan mereka salah satu kitab sakti yang paling dicari di dunia persilatan. Â Lima belas tahun lagi, harus bersitegang pula dengan hampir seluruh tokoh sakti tanah jawa.Â
Diperhatikannya titipan amanat itu. Â Kembali menghela nafas panjang. Â Dia tidak yakin ayahnya akan menerima bocah ini sebagai murid. Â Ayahnya adalah tokoh hebat aliran putih. Â Kepala Sayap Sima yang terkenal. Â Tapi dia juga tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang tinggi hati dan keras kepala. Â Sangat kecil kemungkinan Arya Dahana diterima sebagai muridnya. Â Mengingat perseteruan lamanya dengan Arya Prabu dahulu.Â
Lamunan Dyah Puspita terputus ketika dilihatnya Arya Dahana menggerakkan bola matanya tersadar. Â Diraihnya tangan anak itu," Arya Dahana, bersumpahlah mulai hari ini kau adalah adikku. Akan menuruti semua perkataanku. Dan tidak boleh terpisah dariku."
Arya Dahana mengangkat wajahnya. Â Memandang wajah Dyah Puspita yang cantik, dan tersenyum ramah," Baik kakak yang cantik. Â Tapi aku harus memanggilmu apa?"
"Panggil aku kakak Puspa, adik yang baik...kamu lapar?"
"Iya kak Puspa, aku lapar sekali..perutku berkokok terus dari tadi.."
"Hi hi hi...baiklah Arya. Â Aku akan mencarikanmu makanan. Â Tunggulah di sini. Â Ingat! Tidak boleh kemana mana..." Â Dyah Puspita mengayunkan langkahnya memasuki kelebatan hutan Garahan. Â Pastilah banyak bintang buruan di sana pikirnya. Â Dia tidak menyadari bahwa sedari tadi, beberapa pasang mata sedang memperhatikan mereka dari balik rimbun semak semak. Â Beberapa pasang mata merah yang terlihat bernafsu memandang dirinya dan juga buku kecil yang kini tergeletak di samping Arya Dahana. Â Begitu Dyah Puspita masuk ke dalam hutan, tiga orang di antara mereka mengikutinya dengan sembunyi sembunyi. Â Sementara 2 orang lainnya keluar dari persembunyian dan menghampiri Arya Dahana.Â
"Nahh bocah, duduk sajalah tenang di situ. Â Kami mendapatkan tugas dari kakak cantikmu untuk mengambil buku itu." Salah seorang berbicara, orang yang pendek kekar dengan codet di separuh wajahnya. Â Arya Dahana memandangi kedua orang itu bergantian. Â Tidak terlihat ketakutan di wajahnya. Â Tersenyum mengejek dan berkata," Aku tidak mengenal paman berdua, dan aku yakin kakak Puspa juga pasti tidak mungkin mengenal kalian berdua...pergilah paman. Â Sebelum kakak Puspa datang dan menghajar bokong kalian."
Dua orang anggota dari Lima Begal Garahan itu terperanjat bukan main. Â Anak sekecil ini punya nyali sebesar itu. Â Tak sabar, si pendek maju ke depan. Berniat mencengkeram lengan Arya Dahana dan melemparkannya ke jurang. Â Alangkah kagetnya dia ketika belum juga tangannya menyentuh, sebuah kekuatan yang tak kasat mata menolak tubuhnya dengan hebat. Â Belum juga hilang kagetnya, bocah lelaki itu mendorongkan kedua tangannya ke arah temannya yang sedang maju untuk memberikan pukulan kepada bocah itu. Â
Temannya yang kurus tinggi itu terpelanting ke belakang. Â Kepalanya yang botak membentur batu yang banyak berserakan di situ. Â Meskipun tenaga Arya Dahana sangatlah besar dan ajaib, namun karena belum terlatih maka akibatnya tidaklah fatal. Â Si tinggi kurus bangkit dan menyumpah nyumpah sambil menggosok gosok kepalanya yang benjol sebesar telor itik. Â Diraihnya pedang panjang dari punggungnya dan dengan pandang mata mengancam bergerak hati hati ke arah Arya Dahana. Â Sementara si pendek juga tidak mau kalah. Â Di tangannya telah tergenggam sebatang tongkat dari besi baja.Â