"Masihkah kau mencintai langit dibanding bumi?"
Perempuan itu menatap lelaki di sebelahnya dengan mata bertanya. Â Lelaki itu menggeser duduknya menjauh. Â Berusaha keras ingin menjawab. Â Tapi tidak ada kalimat jawaban meluncur dari mulutnya. Â Senja itu akhirnya berlalu begitu saja.
Pertanyaan itu berulang keesokan harinya. Â Ketika mereka menghabiskan waktu di sebuah pantai yang banyak kehilangan pasir. Â Menikmati pesisir berlumpur. Â Lelaki itupun mengulang jawabannya dengan tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Perempuan itu akhirnya putus asa. Â Tak pernah bertanya lagi kepada kekasihnya. Â Kelak dia akan mencari sendiri jawabannya. Â Atau saat lelaki itu bersedia menjawab dengan sukarela apa pilihannya.
Mereka memang pernah berdebat panas mengenai hal ini. Â Perempuan itu bilang bahwa dia lebih menyukai bumi. Â Sementara si lelaki mengatakan bahwa dia lebih mencintai langit. Â Masing-masing punya alasan. Â Berbeda tentu saja.
Perempuan itu menyebutkan sederet alasan kenapa dia lebih menyukai bumi. Â Di bumilah ari-arinya tertanam. Â Di bumilah dia menitipkan kehidupan. Â Di bumi jualah kelak mayatnya akan dikuburkan.
Lelaki itu terperangah. Â Membalas dengan tak mau kalah. Â Langit adalah penyokong utama mengapa manusia bisa bernafas dengan lega. Â Udara. Â Langit juga adalah pelindung hebat yang menyediakan punggungnya untuk disengat matahari. Â Setiap hari.
Apabila sudah sampai pada topik ini biasanya keduanya lalu bertengkar. Â Mempertahankan pendapat masing-masing. Â Tiada akhir. Â Selanjutnya saling berdiaman. Â Beberapa hari.
-----
Sembari mencoba mengingat semua yang baru saja terjadi, lelaki itu menggigit bibir untuk memastikan dia memang masih hidup. Â Bibirnya tidak terasa sakit. Â Tapi dadanya berdenyut nyeri. Â Aku masih hidup! Â Pikirnya senang hati.
Lelaki itu keheranan bagaimana dia bisa keluar dari mobilnya di kekacauan separah ini. Â Kecelakaan beruntun di jalan tol membuat mobilnya jungkir balik. Â Ringsek tak berbentuk lagi. Â Di sebelahnya, ekor truk kontainer malang melintang menutupi jalan. Â Sebuah bus yang tadinya sarat muatan penumpang, tergeletak di jurang di bawah sana. Â Kosong. Â Karena isinya sekarang adalah tumpukan jenazah yang sulit dikenali.
Lelaki itu mencoba berdiri. Â Rusuknya terasa sangat sakit. Â Berhasil. Â Tapi anehnya tubuhnya menjadi begitu ringan. Â Seperti melayang. Â Matanya bertemu dengan matahari yang masih bersemu merah. Â Di sekelilingnya suasana nampak masih remang-remang. Â Bahkan gema sisa adzan subuh terdengar dari jauh.
Kenapa tiba-tiba aku berada di tempat ini? Â Ini kan rumah masa kecilku di desa. Â Supaya lebih meyakinkan hati, lelaki itu melangkah ke halaman. Â Sebuah taman kecil berisi bunga-bunga kanthil tumbuh subur di situ. Â Menyiarkan wangi yang dikenalinya.
Aahhh itu kan bunga-bunga kanthil kesukaan emak? Â Perasaan dia sudah lama tidak pulang kampung. Â Terakhir justru ketika dia memakamkan emaknya yang meninggal di usia tua. Â Sekitar 5 tahun yang lalu.
Lelaki itu mengerjapkan matanya. Â Seberkas cahaya menyilaukan matanya. Â Cahaya yang ganjil karena bergerak mendekat dengan cepat. Â Mungkin itu rombongan kunang-kunang. Â Atau bintang jatuh yang terlalu dekat ke tanah.
Bukan. Â Sama sekali bukan seperti yang dipikirkannya. Â Cahaya itu adalah cahaya dari lampu senter yang sangat terang. Â Menyorot langsung ke matanya. Â Seperti memeriksa apakah ada kegelapan bersemayam di tubuhnya.
Lelaki itu berusaha mengelak. Â Tidak berhasil. Â Cahaya itu terlanjur menyusup melalui semua lubang di tubuhnya. Â Bercampur dengan aliran darah dan kepadatan sungsum. Â Tubuhnya menggeliat hebat. Â Kesakitan.Â
Membuatnya tidak sadar.
-----
Perempuan itu mengusap butir-butir mutiara yang tumbuh di pipinya. Â Lelaki di hadapannya ini tidak bergerak. Â Hanya suara mesin penopang kehidupan yang berbunyi ringan. Â Selebihnya, diam tanpa suara maupun gerakan.
Digenggamnya tangan dingin si lelaki. Â Dokter tadi menjelaskan bahwa lelaki itu dalam kondisi koma karena luka trauma yang dideritanya. Â Tidak bisa dipastikan apakah lelaki itu bisa kembali sadar atau sebaliknya.
Perempuan itu mencoba menguatkan diri. Â Terhuyung-huyung bangkit berdiri. Â Tas kekasihnya itu tergeletak di meja. Â Utuh. Â Tangannya terulur membuka. Â Memeriksa apakah ada yang tercecer atau hilang. Â Dia hafal apa isi tas lelaki itu. Â Laptop, buku agenda, rokok dan pemantiknya.
Semua ada. Â Lengkap. Â Diraihnya buku agenda lelaki itu. Â Biasanya lelaki itu menuliskan segala hal yang ada dalam pikirannya di buku agenda. Â Dia tidak bisa mengajak lelaki itu bercakap-cakap. Â Lebih baik dia membaca. Â Paling tidak menghapus rasa kelu di hatinya terhadap kenyataan yang ada.
-----
Pertanyaan-pertanyaanmu selalu berusaha kujawab. Â Tapi aku tidak mengutarakannya karena masih belum yakin sepenuhnya. Â Antara langit dan bumi, mana yang lebih aku cintai? Â
 Itu sama dengan pertanyaan; lebih suka mana aku antara hidup atau mati.  Sulit sekali.  Dalam hidup aku bisa berbuat banyak kebaikan.  Tapi bisa juga terjebak di dalam tak terhitungnya keburukan.  Sementara dalam mati;  aku tidak bisa lagi berbuat apa-apa.  Menerima semua jejak kebaikan dan pasrah terhadap semua bayang keburukan. Â
 Begini saja.  Supaya kita tidak selalu terjebak dalam pertengkaran filosofi.  Aku mempercayai firasatku untuk menjawab; di antaranya saja.
----
Perempuan itu menjatuhkan banyak sekali butiran mutiara ke lantai. Â Berpecahan seperti hatinya sekarang. Â Firasat lelakinya itu benar. Â Koma, adalah pilihan di antaranya.
----
Jakarta, 12 Juni 2018