Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Firasat, Hidup Mati dan di Antaranya

12 Juni 2018   21:28 Diperbarui: 12 Juni 2018   21:48 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Masihkah kau mencintai langit dibanding bumi?"

Perempuan itu menatap lelaki di sebelahnya dengan mata bertanya.  Lelaki itu menggeser duduknya menjauh.  Berusaha keras ingin menjawab.  Tapi tidak ada kalimat jawaban meluncur dari mulutnya.  Senja itu akhirnya berlalu begitu saja.

Pertanyaan itu berulang keesokan harinya.  Ketika mereka menghabiskan waktu di sebuah pantai yang banyak kehilangan pasir.  Menikmati pesisir berlumpur.  Lelaki itupun mengulang jawabannya dengan tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya.

Perempuan itu akhirnya putus asa.  Tak pernah bertanya lagi kepada kekasihnya.  Kelak dia akan mencari sendiri jawabannya.  Atau saat lelaki itu bersedia menjawab dengan sukarela apa pilihannya.

Mereka memang pernah berdebat panas mengenai hal ini.  Perempuan itu bilang bahwa dia lebih menyukai bumi.  Sementara si lelaki mengatakan bahwa dia lebih mencintai langit.  Masing-masing punya alasan.  Berbeda tentu saja.

Perempuan itu menyebutkan sederet alasan kenapa dia lebih menyukai bumi.  Di bumilah ari-arinya tertanam.  Di bumilah dia menitipkan kehidupan.  Di bumi jualah kelak mayatnya akan dikuburkan.

Lelaki itu terperangah.  Membalas dengan tak mau kalah.  Langit adalah penyokong utama mengapa manusia bisa bernafas dengan lega.  Udara.  Langit juga adalah pelindung hebat yang menyediakan punggungnya untuk disengat matahari.  Setiap hari.

Apabila sudah sampai pada topik ini biasanya keduanya lalu bertengkar.  Mempertahankan pendapat masing-masing.  Tiada akhir.  Selanjutnya saling berdiaman.  Beberapa hari.

-----

Sembari mencoba mengingat semua yang baru saja terjadi, lelaki itu menggigit bibir untuk memastikan dia memang masih hidup.  Bibirnya tidak terasa sakit.  Tapi dadanya berdenyut nyeri.  Aku masih hidup!  Pikirnya senang hati.

Lelaki itu keheranan bagaimana dia bisa keluar dari mobilnya di kekacauan separah ini.  Kecelakaan beruntun di jalan tol membuat mobilnya jungkir balik.  Ringsek tak berbentuk lagi.  Di sebelahnya, ekor truk kontainer malang melintang menutupi jalan.  Sebuah bus yang tadinya sarat muatan penumpang, tergeletak di jurang di bawah sana.  Kosong.  Karena isinya sekarang adalah tumpukan jenazah yang sulit dikenali.

Lelaki itu mencoba berdiri.  Rusuknya terasa sangat sakit.  Berhasil.  Tapi anehnya tubuhnya menjadi begitu ringan.  Seperti melayang.  Matanya bertemu dengan matahari yang masih bersemu merah.  Di sekelilingnya suasana nampak masih remang-remang.  Bahkan gema sisa adzan subuh terdengar dari jauh.

Kenapa tiba-tiba aku berada di tempat ini?  Ini kan rumah masa kecilku di desa.  Supaya lebih meyakinkan hati, lelaki itu melangkah ke halaman.  Sebuah taman kecil berisi bunga-bunga kanthil tumbuh subur di situ.  Menyiarkan wangi yang dikenalinya.

Aahhh itu kan bunga-bunga kanthil kesukaan emak?  Perasaan dia sudah lama tidak pulang kampung.  Terakhir justru ketika dia memakamkan emaknya yang meninggal di usia tua.  Sekitar 5 tahun yang lalu.

Lelaki itu mengerjapkan matanya.  Seberkas cahaya menyilaukan matanya.  Cahaya yang ganjil karena bergerak mendekat dengan cepat.  Mungkin itu rombongan kunang-kunang.  Atau bintang jatuh yang terlalu dekat ke tanah.

Bukan.  Sama sekali bukan seperti yang dipikirkannya.  Cahaya itu adalah cahaya dari lampu senter yang sangat terang.  Menyorot langsung ke matanya.  Seperti memeriksa apakah ada kegelapan bersemayam di tubuhnya.

Lelaki itu berusaha mengelak.  Tidak berhasil.  Cahaya itu terlanjur menyusup melalui semua lubang di tubuhnya.  Bercampur dengan aliran darah dan kepadatan sungsum.  Tubuhnya menggeliat hebat.  Kesakitan. 

Membuatnya tidak sadar.

-----

Perempuan itu mengusap butir-butir mutiara yang tumbuh di pipinya.  Lelaki di hadapannya ini tidak bergerak.  Hanya suara mesin penopang kehidupan yang berbunyi ringan.  Selebihnya, diam tanpa suara maupun gerakan.

Digenggamnya tangan dingin si lelaki.  Dokter tadi menjelaskan bahwa lelaki itu dalam kondisi koma karena luka trauma yang dideritanya.  Tidak bisa dipastikan apakah lelaki itu bisa kembali sadar atau sebaliknya.

Perempuan itu mencoba menguatkan diri.  Terhuyung-huyung bangkit berdiri.  Tas kekasihnya itu tergeletak di meja.  Utuh.  Tangannya terulur membuka.  Memeriksa apakah ada yang tercecer atau hilang.  Dia hafal apa isi tas lelaki itu.  Laptop, buku agenda, rokok dan pemantiknya.

Semua ada.  Lengkap.  Diraihnya buku agenda lelaki itu.  Biasanya lelaki itu menuliskan segala hal yang ada dalam pikirannya di buku agenda.  Dia tidak bisa mengajak lelaki itu bercakap-cakap.  Lebih baik dia membaca.  Paling tidak menghapus rasa kelu di hatinya terhadap kenyataan yang ada.

-----

Pertanyaan-pertanyaanmu selalu berusaha kujawab.  Tapi aku tidak mengutarakannya karena masih belum yakin sepenuhnya.  Antara langit dan bumi, mana yang lebih aku cintai?  

 Itu sama dengan pertanyaan; lebih suka mana aku antara hidup atau mati.  Sulit sekali.  Dalam hidup aku bisa berbuat banyak kebaikan.  Tapi bisa juga terjebak di dalam tak terhitungnya keburukan.  Sementara dalam mati;  aku tidak bisa lagi berbuat apa-apa.  Menerima semua jejak kebaikan dan pasrah terhadap semua bayang keburukan.  

 Begini saja.  Supaya kita tidak selalu terjebak dalam pertengkaran filosofi.  Aku mempercayai firasatku untuk menjawab; di antaranya saja.

----

Perempuan itu menjatuhkan banyak sekali butiran mutiara ke lantai.  Berpecahan seperti hatinya sekarang.  Firasat lelakinya itu benar.  Koma, adalah pilihan di antaranya.

----

Jakarta, 12 Juni 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun