Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Terbangun saat Ufuk

13 April 2018   13:00 Diperbarui: 13 April 2018   15:06 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: senyumanpagi.wordpress.com

Lelaki itu membiarkan subuh berlalu di hadapannya. Tanpa berbuat apa-apa. Baginya, subuh hanyalah isyarat untuk membuka mata. Itu saja.

Diambilnya sepotong pepaya. Lapar lebih mengalihkan perhatian daripada bergegas ke padasan. Dingin dijadikan alasan terkuat baginya. Air di pagi hari menusuk tulang. Begitu katanya sambil tersenyum lantang.

Lelaki itu menuntaskan bacaan, "Dunia yang Berhilangan". Entah karangan siapa. Tapi yang pasti buku itu bercerita betapa bumi yang semula bulat digerogoti oleh zaman secara pelan-pelan. Nafsu, angkara dan murka terus menunjukkan grafik meningkat yang mengerikan. Menjadi penguasa dunia yang sesungguhnya. 

Jauh lebih kejam daripada filosofi rakyat para kamerad. Jauh lebih ganas dibandingkan propaganda Arya dan blitzkrieg Nazi. Termasuk juga lebih brutal di saat kejahiliyahan masa Nabi. Lelaki itu terus tenggelam dalam banyak sekali filosofi. Sampai lupa diri dan hati.

----

Lelaki itu membuka jendela. Silau cahaya menerpa mukanya. Buru-buru ditutupnya lagi. Panas tidak menyenangkan baginya. Dia lebih menyukai dingin. Karena itu dia memilih pergi ke tempat-tempat yang mempunyai musim dingin. Lelaki itu menjaga dengan sangat apa arti kebekuan.


Terdengar suara lemah dari bawah. Lelaki itu tinggal di lantai 2 sebuah rumah besar. Suara itu mirip sebuah rintihan. Lelaki itu menutupi telinga.  Suara-suara itu selalu terdengar setiap pagi. Dia tahu itu suara siapa. Atau lebih tepatnya suara apa. Dia tidak peduli. Bukan urusannya.

Tapi kali ini suara itu terdengar begitu nyaring. Mengganggu sekali. Walaupun selimut tebal dibekapkan erat tetap saja suara itu menembus gendang telinga.  Lelaki itu mengambil asbak. Di lemparkannya ke bawah tanpa arah. Berharap mengenai si pemilik suara dengan telak.

Suara itu berhenti. Lelaki itu lega. Lebih baik sunyi begini. Dia malas mendengar kegaduhan. Rasanya sudah berbulan-bulan dia berteriak-teriak setiap pagi. Hentikan! Suara itu ratapan yang menyedihkan!

Lelaki itu melanjutkan membaca. Tapi konsentrasinya sudah menghilang. Lelaki itu menyumpah tak karuan. Brengsek! Menghapus kesenangan saja.

Dia membuka pintu kamar.  Saatnya keluar. Cari makan atau apa saja yang bisa dikudap. Dia masih lapar. Sepotong pepaya tidak cukup. Sesuatu yang berat pasti bisa menghilangkan kekesalannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun