Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mencari Dua Kata

16 Februari 2018   17:24 Diperbarui: 16 Februari 2018   22:58 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Murti terus saja mengorek tempat sampah depan stasiun.  Hampir tenggelam seluruh tubuhnya ditelan tempat sampah yang besar itu.  Kepalanya muncul lagi kemudian dengan cepat.  Sejumput sampah plastik menempel di rambutnya yang panjang.

"Tidak ada," ujarnya pendek sambil berusaha keras mengangkat tubuh kecilnya. 

Dibalik tatapan para calon penumpang yang terheran-heran dan pandangan maklum para petugas serta orang-orang di situ yang sudah hafal dengan perilaku wanita itu,  Murti yang berusia hampir tigapuluh itu berjalan terseok-seok meninggalkan pelataran stasiun.  Ini stasiun kedua hari ini yang dia satroni.  Dia akan terus berjalan sampai menemukan yang dia cari.

Sesekali Murti berhenti di pinggir jalan jika menemui pemulung mendorong gerobaknya. Tanpa ba bi bu, wanita itu memeriksa bawaan si pemulung yang hanya pasrah saja seolah Murti adalah Satpol PP yang punya kewenangan untuk itu.

Begitu selesai memeriksa dan tidak menemukan apa yang dicarinya, wanita itu merogoh kantong bajunya dan menyerahkan uang sepuluh ribu kepada si pemulung yang menerima dengan lebih pasrah lagi.  Sudah paham bahwa Murti akan mengamuk jika dia tidak menerima pemberian itu.

-------

Pasar.  Sasaran Murti berikutnya setelah di stasiun yang ketiga lagi-lagi tidak menemukan apa yang dicarinya.  Pasar yang ramai di bilangan jantung kota kecamatan itu.  Tentu banyak sekali tempat sampah yang bisa dikoreknya.

Benar saja.  Setengah harian Murti menghabiskan waktu di pasar.  Orang-orang di pasar juga sudah terbiasa dengan pemandangan wanita itu mengaduk-aduk sampah mencari sesuatu yang entah apa.  Perjalanan Murti memang seperti sudah terjadwal.  Dengan pola yang sama.  Tempat yang sama.  Melakukan hal yang sama.

Terakhir biasanya Murti akan mendatangi terminal satu-satunya di kota kecil yang ramai itu.  Kembali mengaduk-aduk tempat sampah di setiap sudut.  Ujung-ujungnya lalu pergi dan selalu mengatakan hal yang sama, tidak ada.

------

Hampir semua orang merasa iba sebetulnya.  Masa lalu Murti yang segemerlap bintang berubah seketika sekelam arang.  Ibarat kisah dramatis yang tidak bisa dipercaya.  Dulunya Murti adalah anak orang terpandang. Anak seorang pemilik perkebunan kopi dan coklat yang cukup luas di daerah itu.  Murti juga terkenal dengan kecantikannya.  Populer juga kepintarannya karena mengenyam pendidikan tinggi di kota propinsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun