Mohon tunggu...
Fariz Adhyaksa
Fariz Adhyaksa Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan untuk kritik dan saran dari Mahasiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Muhammad Fariz Adhyaksa Ramadhan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2019 Businessman

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penyimpangan Obligator Penerima BLBI sebagai Bentuk Pidana Korupsi

17 Februari 2022   14:39 Diperbarui: 17 Februari 2022   14:43 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi merupakan perbuatan tercela dan bentuk dari penyakit sosial masyarakat, sehingga korupsi dikategorikan sebagai suatu tindak pidana (Straafbaarfeit). 

Perkara tindak pidana korupsi merupakan perkara yang dapat digolongkan ke dalam suatu kejahatan yang disebut dengan "white collar crime" yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat dan dilakukan sehubungan dengan tugas atau pekerjaannya. Pada praktik penegakan

Kucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh bank penerima dana didasarkan atas kebijakan pemerintah akibat adanya krisis moneter Tahun 1997/1998 dengan tujuan untuk memulihkan atau menyelamatkan stabilitas perekonomian negara yang diselewengkan, ternyata tidak dipergunakan sesuai tujuan dan tidak dikembalikan dalam tempo yang ditentukan. 

Tetapi sebaliknya, justru dipergunakan untuk kepentingan pribadi dengan kelompoknya (melibatkan para pejabat negara), untuk itu negara telah dirugikan, akibatnya goncangan perekonomian bangsa bertambah hebat tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai mercenary coruption karena untuk memperoleh keuntungan pribadi. 

Penyelesaian kasus tersebut, tidak dapat diselesaikan melalui Kitab UndangUndang Hukum . KUHP sebagai hukum positif, ternyata tidak dapat menyelesaikan tindak pidana korupsi secara tuntas, untuk itu diperlukan ketentuan hukum di luar KUHP. Karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa, oleh karenanya harus diselesaikan secara luar biasa pula. 

Pada tahun 1998 BI menyalurkan dana sebanyak 144,53T pada 48 bank di Indonesia. Akan tetapi seiring berjalannya waktu pada tahun 2000 BPK menemukan dugaan penyimpangan dana BLBI dengan kerugian negara sebanyak 138,7T. Penyimangan BLBI ini dapat dikatakan sebagai bentuk tindak pidana korupsi yang dimana merugikan negara berdasarkan Pasal 2 UU No 30/1999, tindak pidana ini telah memenuhi unsur tindak pidana formil dan materiil.

Secara formil karena telah memenuhi unsur daripada pasal 2 UU PTPK karena Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, menghendaki dalam konteks hukum pidana harus dipahami sebagai orang perorangan (Persoonlijkheid) dan badan hukum (Rechtspersoon). Untuk konteks UU No. 20 Tahun 2001, para koruptor itu bisa juga korporasi (lembaga yang berbadan hukum maupun lembaga yang bukan berbadan hukum) atau siapa saja, entah itu pegawai negeri, tentara, masyarakat, pengusaha dan sebagainya asal memenuhi unsurunsur yang terkandung dalam pasal ini. 

Secara materiil akibat yang telah ditimbulkan sudah ada, yakni kerugian yang dikatakan oleh BPK berdasarkan SEMA No.4 2016 (ACTUAL LOS), Berdasarkan Putusan MK 2016 lebih ditekankan tindak pidana materiilnya dan harus nyata kerugian negaranya. MK memperluas arti dari sifat melawan hukum yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada akan tetapi banyak yang menentang mengingat adanya asas legalitas. Tindak pidana yang dilakukan para Obligator salah satunya yakni Tomi Soeharto, adalah merugikan negara akan tetapi ia bukan penylenggara negara berdasarkan Pasal 2 UU PTPK. Secara materiil ia telah merugikan negara dari pinjamana BLBI. 

Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, yang menyatakan frasa "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor inkonsitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tindak pidana korupsi yang sebelumnya merupakan delik formil kini menjadi delik yang menekankan pada "akibat" (delik materiil), yaitu adanya unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti. 

Oleh karena itu, dengan adanya dua audit BPK yang berbeda dalam perkara ini telah menjadikan unsur kerugian keuangan negaranya mengandung suatu ketidakpastian.

Namun demikian, jika penegak hukum mendalilkan adanya kerugian keuangan negara dalam perkara BLBI menurut audit BPK pada 2017, dan apabila tujuan utamanya adalah mengembalikan kerugian keuangan negara, maka sesuai Pasal 32 UU Tipikor, penyidik yang menangani perkara BLBI tersebut masih memiliki opsi upaya hukum lainnya selain memidanakan para pelaku, yaitu dengan menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk dilakukannya Gugatan Perdata, atau dengan berbagai upaya asset recovery lainnya untuk dapat memulihkan kerugian keuangan negara.Last but not least, tanpa mengurangi semangat kita bersama dalam memerangi korupsi sebagai extraordinary crime, maka hendaknya penegakan hukum dilakukan dengan mengutamakan kepastian hukum sebagai modal utama untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha terhadap proses penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia.

Muhammad Fariz Adhyaksa R.

Anggota Forum Studi dan Advokasi Mahasiswa FH UNAIR 19

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun