Setiap lisan atau ucapan seorang pemimpin tidak bisa dipandang sebelah mata. Kata-kata yang dilontarkan dari lisannya dapat membangun kepercayaan, menumbuhkan harapan, atau sebaliknya menimbulkan kegaduhan, perpecahan, dan aksi anarkisme. Dalam konteks kepemimpinan, menjaga lisan berarti menjaga marwah diri sekaligus martabat lembaga yang dipimpin dan bangsa yang diwakilinya. Terjadinya permasalahan sosial yang muncul berawal dari ucapan yang tergesa, tidak terkontrol, atau mengandung makna yang menyinggung rakyat. Sebagaimana yang terjadi di Pati Jawa Tengah dan di beberapa daerah aksi demonstrasi di Jakarta Gedung DPR RI serta di beberapa daerah lainnya. Oleh karena itu, penting bagi para pemangku kebijakan untuk senantiasa berhati-hati dalam berkata, sebab setiap kata akan dipertanggungjawabkan, baik di hadapan publik maupun di hadapan Allah.
Islam telah memberikan bimbingan yang jelas tentang pentingnya menjaga lisan. Dalam Al-Qur'an Allah Swt berfirman, "Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik..." (QS. Al-Isra: 53).
Rasulullah SAW juga mengingatkan dalam sabdanya, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari-Muslim).
Dari dua dalil di atas menunjukkan bahwa lisan bukan hanya soal komunikasi, melainkan bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral. Bagi seorang pemimpin, ucapan yang terjaga tidak hanya membawa kebaikan pribadi, tetapi juga menjadi penentu arah moral masyarakat.
Lisan pemimpin memiliki peran besar dalam kehidupan sosial. Ucapan yang bijak dapat menenangkan rakyat dalam situasi sulit, sementara ucapan yang asbun alias asal bunyi dapat memicu keresahan, konfilik, dan rasa sakit hati masyarakat. Oleh karenanya, kehati-hatian dalam bertutur kata menjadi kunci bagi pemimpin untuk menjaga wibawa dan meneguhkan kepercayaan publik. Setiap kalimat lisan yang disampaikan tidak hanya dipandang sebagai opini pribadi, melainkan sebagai representasi resmi dari kebijakan dan sikap institusional.
Sebagai figur publik, pemimpin dituntut untuk memahami bahwa setiap kata akan selalu diawasi, ditafsirkan, bahkan dicatat dalam sejarah. Dalam situasi krisis, misalnya, satu kalimat yang menyejukkan dapat meredakan ketegangan, sementara satu kata yang menyayat hati dapat memperkeruh keadaan. Kemudian, menjaga lisan sama artinya dengan menjaga marwah kepemimpinan. Ucapan yang bernuansa empati, menenangkan, dan berbasis kebenaran akan memperkuat hubungan emosional dengan masyarakat.
Dari dua peristiwa di atas yakni di Pati dan di Jakarta pemimpin yang tidak mampu menjaga lisannya, kita belajar bahwa setiap ucapan memiliki konsekuensi sosial. Kata-kata yang kasar, merendahkan, menantang rakyat, dan kata-kata yang tidak mendidik bisa memicu kemarahan dan sakit hati mendalam dimata rakyat, bahkan mencederai martabat kepemimpinan. Seorang pemimpin semestinya mampu mengendalikan lisannya, bahwa lisan adalah rekognisi dari kepribadian para pemimpin. Apa yang diucapkan seorang pemimpin sesungguhnya mencerminkan isi hatinya, cara berpikirnya, sekaligus integritas moral yang ia miliki. Ucapan yang terjaga, santun, dan penuh kebijaksanaan akan menampilkan pribadi pemimpin yang berwibawa dan layak dipercaya.
Selanjutnya, pemimpin yang dengan ucapannya mampu menginspirasi rakyat, menumbuhkan optimisme, dan mengokohkan persatuan. Akan tetapi ada pula yang karena kelalaian dalam berkata, justru menimbulkan kegaduhan publik dan menggerus kepercayaan. Strategi menjaga lisan bagi seorang pemimpin antara lain adalah membiasakan diri menggunakan bahasa yang etis, menimbang setiap kata sebelum diucapkan, serta mengedepankan empati dalam komunikasi. Ucapan hendaknya didasarkan pada data dan fakta, bukan sekadar emosi sesaat. Pemimpin juga perlu menanamkan kesadaran bahwa setiap kata memiliki dampak luas, bukan hanya bagi masyarakat saat ini, tetapi juga bagi citra dan warisan kepemimpinannya di masa depan.
Akhirnya, menjaga lisan adalah bagian dari menjaga marwah seorang pemimpin. Ucapan yang baik, benar, dan menyejukkan akan menambah wibawa serta memperkuat kepercayaan rakyat. Sebaliknya, lisan yang tidak terjaga dapat meruntuhkan martabat dan mengikis legitimasi. Dengan lisan yang bijak, pemimpin bukan hanya menjaga kehormatan pribadi, melainkan juga merawat persatuan, memperkuat persaudaraan, serta membangun peradaban bangsa yang bermartabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI