Mohon tunggu...
Miftakhul Shodikin
Miftakhul Shodikin Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Kenapa kamu hidup ?

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Vitalitas Sastra Tutur Kentrung

24 Juni 2021   04:02 Diperbarui: 24 Juni 2021   10:42 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SOURCE : DOKUMEN PRIBADI

VITALITAS SASTRA TUTUR KENTRUNG

Sastra Tutur merupakan salah satu genre atau bentuk folklore (cerita rakyat) yang terdiri dari kata-kata, lagu dan atau tembang yang beredar secara lisan diantara anggota kolektif masyarakat yang berisi ajaran-ajaran agama, pesan moral dan cerita-cerita rakyat. Sastra tutur ini juga dikenal dengan nama tembang panjang atau njang panjang. Sastra Tutur merupakan warisan budaya yang tersebar hampir di seluruh penjuru Nusantara. Namun ditengah arus globalisasi, digitalisasi dan zaman Post-Modern saat ini keberadaan dan kelestariaan sastra tutur itu kembali dipertanyakan. Apakah masih eksis ditengah masyarakat, Apakah masih dipegang teguh oleh masyarakat sekitar atau justru berjalan menuju kematian dan kepunahan. Untuk menjawab pertanyaan itu maka Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sebagai instansi yang menangani masalah tentang kebahasaan dan kesastraan di Indonesia di bawah langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan sebuah pengkajian Vitalitas Sastra Tutur di seluruh Nusantara. Bahkan pengkajian yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2020 dengan melakukan Pemetaan tradisi sastra di Indonesia itu tidak hanya meneliti mengenai sastra tutur saja namun juga manuskrip-manuskrip dan tradisi sastra lainnya yang ada di Indonesia.

“program ini tidak lain adalah untuk menjaga dan melindungi agar sastra-sastra di Nusantara terutama sastra tutur tetap terus hidup di tengah masyarakat, sayang sekali warisan budaya harus hilang tertelan zaman” – kata Mas.Radit yang merupakan pengkaji dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta.

Kegiatan Vitalitas Sastra Tutur itu dilaksanakan di Desa Kemantren, Paciran Lamongan dengan bekerja sama dengan Balai Bahasa Jawa Timur dan Rumah Budaya Pantura. Kegiatan yang dilaksanakan di Rumah Budaya Pantura, Kemantren Kecamatan Paciran, Lamongan pada 23 Juni 2021 itu menampilkan 2 (dua) jenis Kentrung dari komunitas Kentrung Gendeng dan Kentrung Taruna Jaya. Kentrung merupakan sastra tutur khas dari Lamongan, Jawa Timur. Sastra  Tutur  Kentrung ini menggunakan alat pukul yang dinamai Rebana atau terbang, konon katanya nama “Kentrung” itu sendiri diambil dari bunyi Rebana atau Terbang yang merupakan alat pukul seperti gendang berbentuk bulat dan pipih, bingkainya berbentuk lingkaran dari kayu dan pemukulnya dari kulit kambing salah satu sisi jika ditabuh akan berbunyi “trung”. Kata trung itulah yang memprakarsai nama “Kentrung”.

“Kentrung itu, Ngreken Perkoro Nganti Jruntung...” 

Kata Mas.Deni Jazuli yang merupakan pengurus Rumah Budaya Pantura menjelaskan bahwa kata Kentrung berasal dari kalimat “Ngreken Perkoro Nganti Jruntung” dimana didalam isi sastra tutur kentrung itu memberikan ajaran-ajaran pencerahan untuk suatu perkara sehingga didapati sebuah jalan yang benar atau lurus “Jruntung”.

Acara dibuka oleh MC tepat pukul 20:00 WIB dengan pembukaan penampilan oleh Syafaruddin Balok dari Balai Bahasa Jawa Timur dengan menampilkan Wayang Golek lalu tak berselang lama penampilan Kentrung pertama dimulai dari komunitas Kentrung Gendeng. Kentrung ini merupakan Kentrung tradisional khas Desa Kemantren, Paciran, Lamongan yang masih memegang keasliannya, dimana hal tersebut terlihat dari kesederhanaan instrumen dan unsur-unsur didalamnya. Sepanjang pementasan Kentrung Gendeng, diatas panggung hanya ada satu orang dalang “Dalang Ontang-Anting” yang juga merangkap sebagai penabuh rebana atau terbang. Dinamakan Dalang Ontang-Anting karena dalam ceritanya dalang selalu menceritakan kisah-kisah zaman dahulu khususnya cerita nabi atau para wali yang ada di Jawa dengan seolah di “gathuk-gathuk” atau di tarik benang merahnya dengan kondisi zaman sekarang.

Pementasan Kentrung oleh Komunitas Kentrung Gendeng, Dalang bercerita mengenai kelahiran Sunan Giri atau Raden Paku yang bukan di Blambangan (sekarang Banyuwangi) sebagaimana masyarakat umum ketahui tetapi malam itu Dalang bercerita bahwa Raden Paku lahir justru di Desa Kemantren ini. hal tersebut karena di Desa Kemantren terdapat makam Maulana Ishaq yakni Ayahanda dari Raden Paku itu sendiri. Belum lagi bukti yang paling kuat ialah adanya Petilasan Sepaku di bibir pantai Desa Kemantren. Petilasan itu diceritakan merupakan hasil injakan kaki dari Raden Paku sesaat setelah lahir dari rahim ibunya yakni Dewi Sekardadu Putri dari seorang Raja Blambangan. Injakan itu menghasilkan sebuah sumur yang airnya tawar padahal dekat sekali dengan laut. Saat ini petilasan yang telah masuk di kawasan Pengeboran Minyak itu selalu di datangi ketika waktu Suro. Disela-sela ceritanya dalang selalu menyelipkan pesan-pesan moral, ajaran-ajaran keagamaan dan ajakan untuk berbuat baik namun pesan dan ajaran itu ia bubuhi dengan sentilan-sentilan bercanda atau dagelan. Karena mungkin dengan hati yang gembira akan membuat ajaran-ajaran dan pesan yang disampaikan dapat diterima audiens dengan baik.

Setelah pementasan dari Kentrung Gendeng selesai, selanjutnya yakni pementasan oleh Komunitas Kentrung Taruna Jaya. Komunitas Kentrung dari Kecamatan Solokuro, Lamongan itu telah mengalami akulturasi budaya dengan menambahkan beberapa unsur didalam pementasannya. Diantaranya yakni dari instrumen musik yang terdiri dari Keyboard, Kendhang Kentrung, Gitar juga Kecrek. Di dalam pementasannya, selain ada dalang yang sekaligus  sebagai penabuh Kendhang Kentrung terdapat juga pemain pengiring, ada diantaranya satu penyanyi dan dua pemain pendukung lainnya yang sangat bebas berekspresi layaknya pementasan didalam kesenian Ludruk  atau Ketoprak.  Dalang dari Komunitas Kentrung Taruna Jaya menceritakan tentang tradisi di Lamongan yakni tradisi wanita melamar seorang pria. Tradisi itu berawal dari sebuah cerita dari Panji Puspokusumo, ia memiliki dua anak kembar laki-laki yang sangat rupawan. Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris. Singkat cerita Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris yang gemar bermain sabung ayam itu mengikuti sabung ayam di daerah Wirosobo (sekarang Kertosono, Nganjuk). Kerupawanan anak dari Panji Puspokusumo yang merupakan keturunan ke-14 Penguasa Majapahit yakni Prabu Hayam Wuruk itu memikat hatu dua putri kembar Raja Wirosobo. Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi. Kedua putri cantik itupun langusng jatuh hati kepada Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris. Lalu, karena desakan dari kedua putrinya itu, Raja Wirosobo kemudian melamar dua lelaki kembar putra dari Panji Puspokusuma walaupun hal itu melanggar norma yang ada sekalipun. Dan peristiwa itu yang membuat wanita di Lamongan akan lebih dulu melamar seorang pria ketika hendak menikah dan mejadi tradisi hingga saat ini.

Kegiatan malam itu yang dihadiri oleh komunitas budaya di daerah pesisir utara seperti Aksara Pesisir, Sanggar Pasir, Rumah Budaya Pantura juga dihadiri oleh beberapa pengamat tradisi sastra di Jawab Timur. Kegiatan lalu dilanjutkan dengan sarasehan dan ditutup langsung dengan doa. Kedua penampilan Kentrung diatas salah satunya merupakan penampilan kentrung Tradisional yang masih asli sama persis dengan awal terciptanya dan penampilan yang satunya lagi merupakan kentrung yang sudah mengalami penyesuaian dan percampuran budaya seperti adanya instrumen musik keyboard dan gitar. Pada dasarnya baik kentrung tradisional asli ataupun yang sudah mengalami perkembangan tetaplah sangat penting untuk terus menunjukan ke-eksistensiannya ditengah masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya pelestarian dan pengenalan kentrung ke masyrakat luas khususnya generasi muda, dengan adanya pengembangan dan penambahan instrumen-instrumen baru tanpa menghilangkan esensi atau substansi dari tradisi sastra tutur kentrung tersebut, maka generasi muda akan sangat terbuka untuk menerima dan melestarikan tradisi ini.

Sejalan dengan itu, Radityo Gurit Ardho sebagai Pengkaji Bahasa dan Sastra yang juga ikut menyebarkan kuisioner dan melakukan wawancara serta observasi di lapangan, menjelaskan tentang pentingnya penelitian Kajian Vitalitas ini. Dalam melakukan kegiatan Kajian Vitalitas ini, harus ada pegangan yang kuat sebagai landasan dalam penelitian. Rangkaian kegiatan ini mengikuti petunjuk teknis Kajian Vitalitas Sastra. Mengutip dari Pedoman Kajian Vitalitas Sastra tersebut, hasil dari penelitian ini akan diketahui status dari Sastra Lisan Kentrung. Ada enam tingkatan status vitalitas sastra yaitu (1) aman, (2) rentan, (3) mengalami kemunduran, (4) terancam punah, (5) kritis, dan (6) punah. Penentuan status vitalitas itu didasrkan pada delapan indikator sastra yakni pewarisan di kalangan generasi muda, proporsi penutur sastra lisan dalam populasi penduduk, peralihan ranah, alih wahana, eksistensi dalam pembelajaran di sekolah, sikap pemerintah, dan jumlah serta kualitas dokumen sastra lisan. Setelah dilakukan Kajian Vitalitas selanjutkan akan diketahui status daya hidup dari sastra lisan tersebut. Dari hasil tersebut juga akan ditentukan terkait langkah selanjutnya yaitu apabila hasilnya cenderung merujuk pada indikator tertentu maka diperlukan adanya konservasi atau revitalisasi. Tahap Konservasi merupakan kegiatan untuk tujuan pemeliharaan dan pelindungan sastra tutur dengan teratur agar mencegah kerusakan dan bahkan kepunahannya ditengah masyarakat sedangkan Revitalisasi merupakan kegiatan guna menghidupkan atau menggiatkan kembali tradisi sastra tutur kentrung tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun