Mohon tunggu...
Miftahudin
Miftahudin Mohon Tunggu... Swasta -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tragedi Para Musang

15 Desember 2018   20:38 Diperbarui: 17 Desember 2018   11:17 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Neanderthal (PA)

Musang betina tua itu telah lama membawa derita. Dia sedang di rundung lapar dan merasakan kegalauan dalam hati. Ia sibuk memikirkan hendak cari makan dimanakah malam ini?

Rengekan isyarat kelaparan anak-anaknya menambah galau dalam hatinya, sehingga putuslah asanya, lalu meringkuk dan biarkan bayinya menyerap putingnya yang tak berisi.

Musang malang itu pandangi penuh kasih bayi-bayinya. Hela nafas panjang ratapi derita dan perjuangan hidup yang mesti di arungi generasinya nanti.

Teringat kembali masa lalunya nan indah. Dulu, rimbanya adalah tempat menyenangkan, makanan melimpah ruah, hawa teduh, tenang dan damai, tak kepayahan mencari makan. Kini telah berubah menjadi perumahan dan perhotelan.

Saat perutnya tak terbendung, membuang hajat sesukanya, biji-bijian dari perutnya lantas berkecambah lalu menjadi tunas, menjelma pohon aneka ragam, jadikan rimbanya nyaman, hijau, dan rimbun.

Saat bahagia itu kini putuslah sudah, manakala makhluk bengis berkaki dua yang cerdas mulai usik Rimbanya. Mula-mula tebangi pohon besar, lalu batang kecil, sampai semua tak bersisa. Makhluk kejam itu rampas rezekinya.

Keluhan anak adalah derita ibu, lalu berkata, sabar sayang, Ibu pasti ambil sedikit rezeki dari makhluk biadab yang tinggal di seberang sungai itu.

Ibu perkasa itu keluar liang, angin kemarau bulan ini mengirim dingin merasuk hingga bulu ekornya. Dingin dan lapar tak mampu kalahkan rasa cinta. Ibu yang 'kan lakukan apa saja demi buah hatinya, ia tak hirau walau tiap perburuan adalah pertaruhan nyawa.

Tekadnya membatu, lamat-lamat tangisan bayinya menjadi tenaga. Dengan gagah menerobos perdu melintasi jalan setapak yang dibuat makhluk berkaki dua menuju rumah musuh utamanya.

Musang betina tua kini berdiri di belakang kandang ayam. Aroma lezat yang berasal dari dalam kandang, menusuk lubang hidung. Ketika aman, sang musang berjalan perlahan menuju kandang.

Mengitari kandang, mencari celah. Musang betina tua bergigi tajam patahkan bilah bambu rapuh. Longokkan kepala ke dalam, bau gurih kian mengganggu, jadilah andrenalinnya mengalir deras.

Matanya masih tajam pandangi ayam yang terkantuk di sudut kandang. Terbius kelezatan, lalu terkam leher ayam, terjadi kegaduhan.

Manakala sinar senter telanjangi dirinya, ia meloncat menuju rerimbunan pohon lengkuas dengan menyeret korban.

Musang!!! Tangkap!! Bunuh!!!" suara makhluk bengis mengejutkan musang betina tua."Musang...!!! Ini Si pencuri...!!! Bunuh..!!!" teriak makhluk kejam penuh kegeraman. Dengan emosi dan kemarahan yang meluap, mahluk itu menebas-nebas daun dan batang lengkuas. Sang musang ngacir secepat kilat, namun usahanya masih tertangkap mata musuhnya.

Besi tajam mengenai kakinya, darah pun mengucur deras, jadikan ibu pejuang itu terjatuh dan mangsa yang berada di mulutnya terlepas. Di ambil lagi. Ia tak menghiraukan rasa sakit yang menyerang. Ia kembali bangkit, kembali berlari sebelum musuhnya berhasil menangkapnya. Langkahnya kini tak secepat semula, benda yang berada di mulutnya telah memperlambat gerakannya.

Fisiknya kini telah merosot tajam. Tak ada yang ia pikirnya selain fokus agar cepat sampai di rumah dan memberi kebahagiaan kepada anak-anaknya. Lubang tempat anak-anaknya kian dekat, sang musang pun kian bersemangat. Walaupun Darahnya menetes di rerumputan. Pejuang betina itu memang sangat gagah perkasa, dihindarinya sang pemburu dengan menyusup perdu dan rerumputan dalam upaya menuju liang tempat tinggalnya.

Rasa sakit dan nyeri itu berbaur saling dengan rasa letih, lelah dan gemetar, bergabung menusuk-nusuk badan. Yang dengan hal itu telah memperburuk kebugaran dirinya.

Tertatih dan merangkak ia paksakan diri menuju lubang. Perjuangan memberi makan anak-anaknya sampailah pada saat pengakhiran. Raganya tak mampu lagi menanggung luka disekujur badan. Pejuang tua itu hanya mampu mengantarkan bangkai ayam sampai di mulut liang.

Anakku,... lihat dan rasakan, hidangan lezat yang ibu janjikan. Segeralah nak, cepat,...raih makanan ini dan seret ke dalam. Ini makanan yang cukup untuk bertahan selama seminggu. Anakku!.

Induk musang itu berkata dalam hati. Ditariknya nafas penghabisan, lalu melayanglah nyawanya dalam hening.

Aroma nikmat yang dikirim oleh semilir angin pagi, akhirnya masuk juga ke dalam liang tempat tinggalnya. Karena telah terpengaruh oleh bau anyir darah segar dari bangkai ayam yang kini kian dirasa lebih tegas keberadaannya, anak-anak musang seterusnya merangkak perlahan-lahan menuju ke sumber aroma.

Bersamaan dengan anak-anak musang mendekati bangkai ayam, dari kejauhan, terlihat sepasang mata ular sanca tajam membidik mulut lubang di bawah pohon bungur tua itu. Lidahnya yang merah menjulur-julur penuh gairah.

Selanjutnya yang terjadi adalah siapa yang akan menjadi korban pertama si ular Sanca. Bangkai ayam ataukah anak-anak musang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun